Sabtu, 12 Juli 2025

Khofifah Diperiksa KPK, Guru Besar Unair: Jadi Saksi Belum Tentu Terlibat Korupsi

Laporan oleh Billy Patoppoi
Bagikan
Khofifah Indar Parawansa Gubernur Jatim waktu menghadiri Sidang Terbuka Program Doktor Pendidikan Agama Islam (PAI) di Universitas Islam Malang, Senin (28/4/2025). Foto: Dok Humas Pemprov Jatim.

Prof Nur Basuki Minarno Guru Besar Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Airlangga (Unair) turut buka suara soal pemanggilan Khofifah Indar Parawansa, Gubernur Jawa Timur (Jatim) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Dia menilai, dipanggilnya KPK oleh lembaga antirasuah hal yang lumrah, terutama statusnya sebagai kepala daerah yang juga pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan daerah sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.

Tapi, Guru Besar Hukum Pidana Unair itu mengingatkan seseorang yang diperiksa sebagai saksi, belum tentu terlibat kasus korupsi.

“Kepala daerah adalah pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan daerah. Jadi kalau gubernur dimintai keterangan itu sangat wajar. Tapi yang perlu dicatat jikalau ada seseorang diperiksa sebagai saksi, belum tentu mereka terlibat,” tegas Prof Basuki dalam keterangannya yang diterima, Jumat (11/7/2025).

Khofifah sebelumnya diperiksa sebagai saksi di Mapolda Jatim, Kamis (10/7/2025) kemarin, dalam kasus dugaan korupsi dana hibah untuk kelompok masyarakat (pokmas) yang bersumber dari APBD Jawa Timur tahun anggaran 2019-2022.

Dikatakannya, KPK dalam melakukan penyidikan tentu perlu memperoleh keterangan dari banyak sumber. Mulai dari saksi, ahli, atau keterangan tersangka.

Pemeriksaan saksi ini sangat penting karena saksi inilah pihak yang mengetahui, mendengar, atau mengalami sendiri peristiwa. “Dan keterangan saksi itupun tidak berdiri sendiri karena nantinya akan dicocokkan dan dilihat apakah memiliki kesesuaian, berelevansi dengan data yang lain,” ujarnya.

Terlebih kasus ini konteksnya adalah dugaan korupsi dana hibah untuk kelompok masyarakat (pokmas) yang bersumber dari APBD Jatim.

“Kalau gubernur tidak diperiksa ya akan menjadi aneh karena produknya pengeluaran anggaran kan pergub. Tapi kembali lagi yang ditekankan, tidak selalu yang diperiksa sebagai saksi adalah pihak yang terlibat dalam permufakatan jahat,” imbuh Prof Basuki.

Lebih lanjut ia pun menegaskan kasus ini adalah kasus dana hibah yang bersumber dari APBD Jawa Timur tahun anggaran 2021–2022. Yang mana kasusnya adalah terkait hibah pokok-pokok pikiran (pokir).

Dana hibah ini dialokasikan untuk menindaklanjuti pokok-pokok pikiran (Pokir) DPRD yang didapat dari hasil reses atau rapat dengar pendapat DPRD yang menjadi bahan pertimbangan atau dasar dalam perencanaan pembangunan daerah.

Pokir menjadi mekanisme penyaluran dana APBD untuk mendukung kegiatan yang bermanfaat bagi masyarakat, berdasarkan usulan yang disampaikan oleh anggota DPRD.

“Prinsipnya dalam hukum pidana siapa yang melakukan kesalahan, maka dialah yang dimintai tanggung jawab pidana. Dalam pemberian hibah pasti melibatkan eksekutif dengan legislatif dalam perencanaan dan penganggaran sampai ditetapkannya APBD,” tegas Prof Basuki.

Sebagaimana diketahui, dalam kasus ini KPK telah menetapkan 21 orang tersangka. Sebanyak 21 tersangka itu terdiri dari 4 penerima suap dan 17 pemberi suap.

Para tersangka penerima suap itu terdiri dari 3 orang penyelenggara negara dan 1 orang staf penyelenggara negara. Sementara, dari 17 tersangka pemberi suap, 15 di antaranya adalah pihak swasta, sedangkan 2 orang lainnya adalah penyelenggara negara.

“Jika kemudian dalam pelaksanaannya ada pihak yang melakukan perbuatan melawan hukum atau penyalahgunaan wewenang yang mengakibatkan kerugian daerah, maka pihak tersebutlah yang harus bertanggung jawab,” urainya. (bil/faz)

Berita Terkait

Potret NetterSelengkapnya

Kecelakaan Mobil di Jembatan Suramadu, Kondisinya Ringsek

Kecelakaan Bus Tabrak Belakang Truk di KM 749 Tol Sidoarjo-Waru

Pajero Masuk Sungai Menur Pumpungan

Kecelakaan Truk Tabrak Gardu Tol di Gate Waru Utama

Surabaya
Sabtu, 12 Juli 2025
25o
Kurs