Koalisi Masyarakat Sipil Surabaya menyatakan sikap dengan menolak penulisan ulang sejarah Indonesia yang diinisiasi oleh Kementerian Kebudayaan.
Pernyataan sikap itu disampaikan oleh puluhan elemen masyarakat di Gedung GMKI Surabaya pada Sabtu (9/8/2025) siang.
Dalam acara ini, pernyataan sikap dimulai dengan orasi budaya dari beberapa narasumber hingga pemberian cap tangan yang ditempel pada kain putih bertuliskan, “Tolak Manipulasi Sejarah”.
Kandi Aryani Suwito Koordinator Koalisi Masyarakat Sipil Surabaya mengatakan, penulisan ulang sejarah itu dinilai sangat tergesa-gesa, baik dalam waktu pengerjaan hingga minimnya keterlibatan publik.
Ia juga menilai, penulisan sejarah bukan sekadar aktivitas naratif, tetapi memiliki tanggung jawab etis pada masa lalu, generasi masa depan, dan kehidupan berbangsa.
“Buku sejarah yang diterbitkan berpotensi menjadi instrumen legitimasi kekuasaan, menihilkan korban dan liyan, menghapus ingatan, menghilangkan pengetahuan serta mengabaikan tuntutan rakyat agar negara bertanggung-jawab pada peristiwa pelanggaran dan kejahatan HAM di masa lalu, termasuk kerusuhan Mei 1998,” katanya.

Tidak hanya itu, Kandi juga menilai proses pembentukan tim penulis buku sejarah dilakukan dengan instan dan tanpa menyertakan pelibatan publik terutama dari kelompok korban.
“Kegiatan ini adalah bagian dari upaya kami untuk meningkatkan kesadaran publik melalui gerakan kolektif. Tidak hanya bersikap reaktif, tapi juga proaktif dalam mempertahankan keadilan, kejujuran, dan martabat bagi semua warga negara,” tambahnya.
Dalam aksi itu, Koalisi Masyarakat Sipil Surabaya sekaligus menyampaikan empat pernyataan sikap di antaranya:
1. Menolak buku sejarah yang dihasilkan oleh Kementerian Kebudayaan yang disetujui oleh DPR-RI dengan dana APBN 2025
2. Menolak penulisan ulang sejarah Indonesia oleh pemerintah karena akan menjadi instrumen legitimasi kekuasaan yang menutupi dan menghilangkan fakta sejarah, serta menghapus narasi-narasi yang berpihak pada korban, khususnya pada peristiwa pelanggaran dan kejahatan HAM di masa lalu. Upaya-upaya untuk memanipulasi fakta sejarah kami anggap sebagai bentuk kejahatan.
3. Mendesak pemerintah Indonesia menghormati, mengakui dan menjalankan temuan resmi lembaga negara, dokumentasi sejarah, kesaksian korban, pendamping korban, data investigatif, serta rekomendasi dari berbagai lembaga kredibel seperti Komnas HAM, Komnas Perempuan, Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) Mei 1998, dan Tim Relawan untuk kemanusiaan.
4. Menuntut pemerintah Indonesia bertanggung jawab terhadap warganya didasarkan pada prinsip keadilan dan kemanusiaan yang inklusif, dengan menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran dan kejahatan HAM berat di masa lalu, sebagai bagian dari proses rekonsiliasi nasional.
(kir/saf/iss)
NOW ON AIR SSFM 100
