
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) meminta Tentara Nasional Indonesia (TNI) maupun Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) memastikan untuk tidak lagi melibatkan warga sipil dalam aktivitas TNI/Polri yang memiliki risiko tinggi, termasuk dalam kegiatan pemusnahan amunisi.
Uli Parulian Sihombing anggota Komnas HAM mengatakan berdasarkan pedoman Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) terkait keterlibatan sipil dalam urusan penanganan dan pemusnahan amunisi, memang terdapat ruang pelibatan pihak lain dalam kegiatan sejenis dengan pemusnahan amunisi, tetapi dengan syarat keahlian spesifik atau kompetensi tertentu.
“Sementara para pekerja dalam kasus ledakan amunisi di Garut diajarkan atau belajar secara otodidak bertahun-tahun, tidak melalui proses pendidikan atau pelatihan yang tersertifikasi,” kata Uli dalam konferensi pers di Jakarta, Jumat (23/5/2025) dilansir Antara.
Maka dari itu, ia berharap Panglima TNI maupun Kapolri bisa melakukan langkah evaluatif secara keseluruhan untuk memastikan tidak adanya lagi pelibatan masyarakat sipil agar peristiwa ledakan amunisi yang mengakibatkan belasan korban jiwa, termasuk warga sipil, seperti terjadi di Kabupaten Garut, Jawa Barat, Senin (12/5/2025), tidak kembali terulang.
Di sisi lain, dirinya turut meminta masyarakat untuk tidak terlibat dalam kegiatan militer yang berisiko tinggi terhadap keselamatan diri tanpa adanya keahlian khusus yang tersertifikasi dan jaminan perlindungan diri dalam kegiatan dimaksud, terutama dengan kegiatan yang berhubungan dengan alutsista (alat utama sistem senjata) militer.
Berdasarkan temuan Komnas HAM, pada peristiwa tersebut sejumlah 21 orang dipekerjakan untuk membantu proses pemusnahan amunisi afkir TNI dengan upah rata-rata Rp150 ribu per hari. Para pekerja terkoordinir di bawah pimpinan Rustiawan, yang sudah memiliki pengalaman lebih dari 10 tahun bekerja dalam proses pemusnahan amunisi, baik dengan pihak TNI maupun Polri.
Uli menjelaskan para pekerja sipil atau pekerja harian lepas tersebut memiliki peran dan tugas masing-masing dalam kegiatan pemusnahan, di antaranya sebagai sopir truk, penggali lubang, hingga pembongkar amunisi dan juru masak.
“Beberapa orang pekerja senior bahkan pernah melakukan pekerjaan tersebut hingga ke berbagai daerah di Indonesia seperti Makassar dan Maluku,” tuturnya.
Namun dalam melaksanakan pekerjaannya, disebutkan bahwa para pekerja tidak dibekali dengan peralatan khusus atau alat pelindung diri.
Oleh karenanya, dia pun meminta Panglima TNI maupun Kapolri bisa melakukan langkah evaluatif terhadap mekanisme pemusnahan amunisi dengan mengutamakan keselamatan kerja, baik bagi personel TNI/Polri maupun pihak lain yang tersertifikasi.
Adapun ledakan di Gudang Pusat Amunisi III Pusat Peralatan TNI AD di Desa Sagara itu telah mengakibatkan 13 orang meninggal dunia, dengan empat orang di antaranya merupakan anggota TNI dan tujuh korban lainnya warga sipil.
Uli berharap pihak TNI bisa menjamin pemulihan dalam jangka panjang bagi keluarga korban, baik secara fisik, psikis, maupun sosial-ekonomi serta melakukan berbagai upaya pencegahan dini untuk menjamin peristiwa serupa tidak berulang lagi di kemudian hari.
“Kami juga meminta kepada TNI-AD untuk menyampaikan hasil investigasi peristiwa tersebut kepada publik sebagai bagian dari transparansi dan akuntabilitas,” ungkapnya.(ant/kak/iss)