
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) meminta pihak kepolisian untuk mengedepankan keadilan restoratif kepada massa aksi yang ditahan di berbagai daerah terkait unjuk rasa menolak tunjangan anggota DPR.
Selain itu, Komnas HAM juga meminta aparat keamanan untuk memberikan akses bantuan hukum kepada mereka yang ditangkap dan ditahan. Menurut Komnas HAM, bantuan hukum merupakan hak asasi yang harus dipenuhi.
“Banyak sekali yang ditangkap ini, berdasarkan informasi dari banyak organisasi masyarakat sipil, tidak mendapatkan akses atas bantuan hukum dan juga [Komnas HAM mendorong polisi] mengedepankan pendekatan restorative justice,” ucap Anis Hidayah Ketua Komnas HAM dilansir dari Antara, Selasa (2/9/2025).
Berdasarkan data sementara yang diperoleh Komnas HAM, tercatat sebanyak 1.683 orang peserta aksi ditahan oleh Polda Metro Jaya pada tanggal 25, 28, 30, dan 31 Agustus. Namun, data itu masih dinamis.
Kemudian, Komnas HAM mencatat sebanyak 89 orang ditangkap di Solo, Jawa Tengah, pada 29–30 Agustus 2025.
Menurut Anis, sejak Senin (1/9/2025), 14 orang lainnya juga ditangkap dan sebagian ditetapkan sebagai tersangka.
Selain itu, Anis menyebut lembaganya juga menyayangkan sejumlah aktivis yang ditahan dan ditetapkan sebagai tersangka, termasuk Delpedro Marhaen Direktur Eksekutif Lokataru. Tindakan itu dikhawatirkan menghambat kebebasan berpendapat dan berekspresi.
“Komnas HAM sangat menyesalkan dan mendorong agar kepolisian menggunakan pendekatan restorative justice untuk membebaskan,” tuturnya.
Komnas HAM turut mendorong kepolisian membebaskan para peserta aksi yang masih ditahan, baik di polda, polres, maupun polsek. Polisi juga diminta untuk menghentikan penangkapan dan penahanan secara sewenang-wenang.
“Meminta aparat keamanan dan penegakan hukum untuk melakukan penanganan secara akuntabel, transparan, dan berkeadilan yang berpegang pada prinsip-prinsip hak asasi manusia dan prinsip-prinsip praduga tak bersalah,” ucap Anis.
Di samping itu, Komnas HAM mendorong pemulihan hak bagi orang-orang yang ditangkap secara sewenang-wenang serta korban tewas dan luka-luka saat penanganan aksi. Sebab, korban dan keluarganya berpotensi mengalami trauma.
“Apalagi bagi mereka yang merupakan kelompok rentan: perempuan dan anak-anak,” tuturnya. (ant/ata/saf/ipg)