
Usulan penghapusan jurusan filsafat oleh Ferry Irwandi menuai perdebatan luas. Ferry menilai filsafat sebagai bidang yang elitis dan tidak relevan dengan kebutuhan dunia kerja saat ini. Menurutnya, filsafat terlalu banyak berdiam di “menara gading” tanpa dampak nyata bagi masyarakat.
Menanggapi hal itu, Tommy F. Awuy filsuf dan budayawan menyampaikan pandangannya. Mantan dosen filsafat Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia (FIB UI) itu mengaku menghargai pemikiran Ferry yang dinilainya kritis, meskipun berasal dari luar disiplin filsafat.
“Saya kagum sama anak itu karena dia bukan dari filsafat, tetapi bisa memahami, paling tidak berusaha memahami filsafat itu. Dia punya concern yang sangat dalam terhadap kehidupan filsafat,” kata Tommy dalam program Wawasan Radio Suara Surabaya, Rabu (27/8/2025) pagi.
Ia menilai pernyataan Ferry sebagai kritik klasik yang sudah muncul sejak lama, bahkan sejak ia masuk kuliah di jurusan filsafat pada tahun 1970-an.
“Kalau kita pada tahun 70-an filsafat itu dibilang sudah mati, sudah lewat. Karena munculnya ilmu-ilmu pengetahuan yang praktis. Sekarang ada tantangan lain, AI dan segala macam. Mungkin ini yang menjadi lebih relevan. Bahwa orang-orang sekarang kuliah pun tujuannya untuk apa? Ya tujuannya untuk praktis saja, cari kerja kan?” sebutnya.
Tommy lalu mengingatkan kontribusi besar para filsuf dalam sejarah ilmu pengetahuan. Ia menyebut Aristoteles, Plato, Adam Smith, hingga Karl Marx sebagai contoh tokoh yang dengan berpikir mampu melahirkan cabang ilmu baru dan sistem sosial yang besar pengaruhnya hingga kini.
“Filsuf itu menciptakan ilmu melalui pemikiran. Aristoteles dengan biologi, Plato dengan gagasan Republik, Adam Smith dengan sistem ekonomi kapitalis, dan Marx dengan sosialisme,” katanya.
Ia juga menyoroti perkembangan jurusan filsafat dari waktu ke waktu. Dulu, kata Tommy, Universitas Indonesia sangat selektif dalam menerima mahasiswa filsafat. Namun kini jumlah mahasiswa meningkat drastis, yang menurutnya justru mengurangi efektivitas pengajaran.
Menurut Tommy, mengajar filsafat itu idealnya di kelas kecil, sekitar 18-20 orang. Namun sekarang, jurusan filsafat bisa menerima hingga 60 mahasiswa.
“Bagaimana mengajar kelas filsafat kalau banyak orang. Padahal efektifnya mengajar di satu kelas ya paling banyak 20,” katanya.
Meski demikian, Tommy menegaskan bahwa lulusan filsafat tetap relevan dan terserap di dunia kerja. Banyak dari mereka bekerja di kementerian, media, hingga manajemen.
Tommy juga menilai bahwa keberadaan filsafat tidak harus selalu bergantung pada lembaga formal. Ia melihat bahwa kini banyak orang belajar filsafat secara mandiri, dan hal itu perlu dirangkul, bukan ditolak.
“Nah, dengan dialog bersama itu saya kira akan menjadi suatu, bisa dikatakan oase, yang lebih luas bahwa filsafat itu justru bisa hidup bukan hanya di lembaga, tetapi di luar lembaga,” terangnya. (saf/ipg)