
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menekankan pentingnya Polri mematuhi Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) dalam menangani anak-anak yang terlibat aksi unjuk rasa berujung anarkis dan tindak kriminal.
“Anak-anak yang diperiksa tidak boleh mengalami kekerasan, baik fisik maupun verbal. Proses pemeriksaan harus dilakukan maksimal 24 jam, dan tempatnya wajib dipisahkan dari tahanan orang dewasa,” kata Sylvana Maria Apituley Anggota KPAI saat dihubungi di Jakarta, Rabu (3/9/2025).
Melansir dari Antara, KPAI menyoroti maraknya praktik mobilisasi anak dalam aksi unjuk rasa yang berujung kerusuhan di Jakarta dan beberapa daerah lainnya.
Menghadapi fenomena itu, KPAI meminta Polri bersikap profesional, persuasif dan humanis saat menangani anak-anak yang terlibat.
KPAI juga mendorong kepolisian untuk segera mengusut provokator yang memobilisasi anak-anak dalam aksi kerusuhan.
“Kami berharap polisi bisa mengungkap siapa pihak yang memprovokasi dan memobilisasi anak-anak. Penegakan hukum harus dilakukan secara transparan, adil, dan tuntas,” ucap Sylvana.
Selain penegakan hukum, KPAI menilai langkah pencegahan sistemik juga harus segera dilakukan agar kejadian serupa tidak terulang di masa mendatang.
Rangkaian aksi unjuk rasa di berbagai provinsi pekan lalu tercatat menelan 10 korban jiwa, termasuk satu anak. Korban anak tersebut berinisial ALF (16), pelajar asal Tigaraksa, Kabupaten Tangerang, Banten, yang meninggal dunia saat menjalani perawatan di rumah sakit.
Korban sebelumnya diduga terlibat dalam aksi unjuk rasa di kawasan DPR/MPR RI pada Kamis (28/8/2025) yang berujung ricuh.
Sementara, terdapat 20 anak yang menjadi korban luka dalam kerusuhan demonstrasi di berbagai daerah. Mereka saat ini masih menjalani perawatan intensif di rumah sakit.(ant/dis/ham/rid)