Selasa, 11 November 2025

Laporan Intelijen AS Sempat Peringatkan Operasi Israel di Gaza Berisiko Jadi Kejahatan Perang

Laporan oleh Billy Patoppoi
Bagikan
Warga Gaza melihat kepulan asap dari objek yang hancur akibat diserang Israel. Foto: Anadolu

Amerika Serikat (AS) mengumpulkan informasi intelijen tahun lalu yang menunjukkan bahwa para pengacara militer Israel memperingatkan adanya bukti yang dapat mendukung tuduhan kejahatan perang terhadap Israel atas operasi militernya di Gaza, operasi yang sangat bergantung pada pasokan senjata dari Amerika.

Informasi dari lima mantan pejabat AS yang tak disebutkan namanya kepada Reuters dan sebelumnya tak pernah dilaporkan ini, merupakan salah satu temuan paling mengejutkan yang dibagikan kepada para pembuat kebijakan tingkat tinggi di Washington, selama perang berlangsung.

Melansir laporan Reuters, Jumat (7/11/2025), informasi itu mengungkapkan adanya keraguan di dalam tubuh militer Israel sendiri terhadap legalitas taktik yang mereka gunakan, berbanding terbalik dengan sikap publik Israel yang secara terbuka membela tindakan militernya.

Dua dari lima mantan pejabat AS mengatakan, materi intelijen itu baru disebarkan secara luas di dalam pemerintahan pada akhir masa jabatan Joe Biden Presiden, menjelang briefing Kongres pada Desember 2024.

Informasi tersebut pun memperdalam kekhawatiran Washington terhadap cara Israel menjalankan perang yang diklaimnya sebagai upaya menumpas pejuang Hamas di Gaza, kelompok perlawanan yang serangannya pada 7 Oktober 2023 terhadap Israel memicu konflik ini.

Kekhawatiran muncul bahwa Israel dengan sengaja menargetkan warga sipil dan pekerja kemanusiaan, tindakan yang dapat dikategorikan sebagai kejahatan perang. Namun seperti diketahui, Israel dengan tegas telah berkali-kali membantah tuduhan tersebut.

Para pejabat AS disebut sangat terkejut dengan temuan ini, apalagi ketika jumlah korban sipil di Gaza terus meningkat dan menimbulkan dugaan bahwa operasi Israel melampaui batas standar hukum internasional, terkait korban sipil yang dapat ditoleransi (acceptable collateral damage).

Para mantan pejabat yang diwawancarai Reuters tidak merinci bukti atau insiden perang tertentu yang memicu kekhawatiran para pengacara militer Israel.

Namun, menurut otoritas kesehatan Gaza, lebih dari 68.000 warga Palestina telah tewas selama dua tahun kampanye militer Israel. Militer Israel menyebut setidaknya 20.000 dari mereka adalah kombatan atau anggota bersenjata.

Reuters mewawancarai sembilan mantan pejabat pemerintahan Biden, termasuk enam orang yang memiliki pengetahuan langsung tentang intelijen ini dan perdebatan di dalam pemerintahan setelahnya. Semua meminta identitas mereka dirahasiakan karena sensitifnya isu tersebut.

Laporan mengenai perbedaan pendapat internal di pemerintahan AS terkait kampanye Israel di Gaza sudah muncul saat Biden masih menjabat. Namun, laporan kali ini memberikan gambaran yang lebih lengkap mengenai ketegangan di minggu-minggu terakhir masa pemerintahannya, yang berakhir dengan pelantikan Donald Trump Presiden di masa jabatan keduanya pada Januari 2025.

Yechiel Leiter Duta Besar Israel untuk AS, menolak berkomentar ketika dimintai tanggapan terkait intelijen tersebut maupun perdebatan internal pemerintahan Biden. Kantor Perdana Menteri Israel dan juru bicara militer Israel juga tidak segera merespons permintaan komentar.

Perdebatan Memanas di Akhir Masa Jabatan Biden

Temuan intelijen ini memicu rapat lintas lembaga di Dewan Keamanan Nasional AS, di mana para pejabat dan pengacara pemerintah memperdebatkan bagaimana, dan apakah, AS perlu menanggapi temuan tersebut.

Jika AS secara resmi menyimpulkan bahwa Israel melakukan kejahatan perang, maka berdasarkan hukum AS, Washington wajib menghentikan pengiriman senjata dan kerja sama intelijen dengan Israel.

Padahal, kerja sama intelijen antara kedua negara telah berlangsung selama puluhan tahun dan sangat penting bagi stabilitas kawasan Timur Tengah.

Pada Desember 2024, isu ini dibahas di tingkat tinggi oleh pejabat dari berbagai lembaga, mulai dari Departemen Luar Negeri, Departemen Pertahanan, komunitas intelijen, hingga Gedung Putih. Biden juga menerima briefing langsung dari penasihat keamanan nasionalnya.

Gedung Putih pun menolak memberikan komentar. Juru bicara Departemen Luar Negeri hanya mengatakan, “Kami tidak berkomentar mengenai urusan intelijen.”

Perdebatan internal di AS akhirnya berakhir dengan kesimpulan bahwa Washington masih dapat secara sah melanjutkan dukungannya terhadap Israel.

Tiga mantan pejabat AS mengatakan, keputusan itu didasarkan pada argumen bahwa AS belum memiliki bukti langsung yang membuktikan Israel sengaja menargetkan warga sipil atau menghalangi bantuan kemanusiaan, dua unsur kunci dalam penentuan pelanggaran hukum perang.

Sebagian pejabat senior di pemerintahan Biden khawatir bahwa jika AS secara resmi menyatakan Israel melakukan kejahatan perang, maka dukungan militer dan intelijen harus dihentikan.

Langkah itu dinilai AS berisiko karnea memperkuat posisi Hamas, menghambat negosiasi gencatan senjata, dan mengubah opini publik dunia berpihak kepada kelompok tersebut.

Keputusan untuk “tetap di jalur” membuat sebagian pejabat frustrasi karena menilai pemerintahan Biden seharusnya lebih tegas mengkritik pelanggaran yang dilakukan Israel, serta peran AS dalam mendukungnya.

Saat pemerintahan Trump mengambil alih, Biden dan timnya telah memberikan briefing mengenai intelijen ini. Namun, menurut mantan pejabat AS, pemerintahan Trump menunjukkan sedikit minat terhadap isu tersebut dan justru memperkuat dukungannya kepada Israel.

Bahkan sebelum AS menerima laporan intelijen dari Israel, beberapa pengacara di Departemen Luar Negeri AS sudah berulang kali memperingatkan Antony Blinken mantan Menteri Luar Negeri bahwa Israel kemungkinan telah melakukan kejahatan perang, menurut lima mantan pejabat AS.

Sejak Desember 2023, para pengacara dari Biro Hukum Departemen Luar Negeri menyampaikan kepada Blinken bahwa tindakan militer Israel di Gaza tampaknya melanggar hukum humaniter internasional dan berpotensi termasuk kejahatan perang.

Namun, mereka tidak pernah memberikan penilaian akhir yang menyatakan pelanggaran tersebut secara resmi. Beberapa pejabat di Departemen Luar Negeri menilai biro hukum “menahan diri” agar tidak menentang keputusan politik pemerintah.

“Mereka melihat tugasnya sebagai pembenaran atas keputusan politik,” kata salah satu mantan pejabat. “Bahkan ketika bukti jelas mengarah pada kejahatan perang, kartu bebas mereka adalah soal pembuktian niat,” tambahnya.

Sikap hati-hati itu tercermin dalam laporan pemerintah AS yang dirilis pada Mei 2024. Dalam laporan itu, Washington menyebut Israel mungkin telah melanggar hukum humaniter internasional dengan menggunakan senjata buatan AS di Gaza, namun tidak memberikan penilaian tegas dengan alasan situasi perang yang kompleks.

Meski demikian, Blinken sendiri menolak berkomentar langsung mengenai isu intelijen tersebut.

“Yang bisa saya katakan adalah, pemerintahan Biden secara konsisten meninjau kepatuhan Israel terhadap hukum perang dan hukum AS sendiri,” kata juru bicara Blinken.

Kekhawatiran Dugaan Kejahatan Perang

Pada November 2024, Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) di Den Haag mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap Benjamin Netanyahu Perdana Menteri Israel dan Yoav Galant mantan Menteri Pertahanannya, serta terhadap Mohammed Deif pemimpin Hamas, atas dugaan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan di Gaza. Hamas kemudian mengonfirmasi bahwa Israel telah membunuh Deif.

Israel menolak yurisdiksi ICC dan membantah melakukan kejahatan perang. Hamas pun menolak tuduhan serupa.

Menurut sumber yang mengetahui pembahasan internal AS, di minggu-minggu terakhir pemerintahan Biden, pejabat-pejabat AS juga memperdebatkan apakah pemerintah dapat dianggap turut bersalah jika pejabat Israel benar-benar menghadapi dakwaan di pengadilan internasional.

Meskipun secara publik AS terus membela Israel, isu ini menjadi titik lemah politik bagi Partai Demokrat. Biden Presiden dan kemudian Kamala Harris Wakil Presiden sama-sama gagal memenangkan pemilihan presiden berikutnya.

Chris Van Hollen Senator Demokrat, yang kerap mengkritik kebijakan Israel dan dukungan AS terhadap operasi militernya di Gaza, mengatakan laporan Reuters menunjukkan adanya “pola pembiaran yang disengaja” dari pemerintahan Biden terhadap penggunaan senjata Amerika dalam kejahatan perang.

“Pemerintahan Biden secara sadar menutup mata terhadap bukti kuat bahwa kejahatan perang dilakukan menggunakan senjata buatan AS di Gaza,” ujar Van Hollen kepada Reuters.

Israel, yang kini menghadapi gugatan genosida di Mahkamah Internasional (ICJ), menolak tuduhan tersebut dan menyebut operasi militernya hanya menargetkan Hamas, bukan warga sipil Gaza.

Militer Israel mengklaim selalu berupaya meminimalkan korban sipil dan menggunakan amunisi serta peringatan yang sesuai. Seorang pejabat militer Israel mengatakan kepada Reuters pada September lalu bahwa pihaknya sedang menyelidiki sekitar 2.000 dugaan pelanggaran, termasuk kematian warga sipil dan kerusakan infrastruktur.

Beberapa kasus, kata pejabat itu, muncul ke publik melalui gugatan genosida yang diajukan ke ICJ. (bil/iss)

Berita Terkait

Potret NetterSelengkapnya

Perpaduan Macet dan Banjir di Kawasan Banyuurip-Simo

Banjir Menggenangi Sidosermo 4

Kecelakaan Bus Vs Truk Gandeng di Jembatan Suramadu

Perpaduan Hujan dan Macet di Jalan Ahmad Yani

Surabaya
Selasa, 11 November 2025
26o
Kurs