
M. Isa Ansori Pengurus Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Jawa Timur (Jatim) mengusulkan agar Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya menciptakan ekosistem asrama yang mendukung perubahan anak bermasalah.
Menurutnya, anak yang terlibat kenakalan atau kekerasan sebelumnya merupakan korban.
“Korban dari kemiskinan yang memaksa orang tua bekerja 12 jam sehari. Korban lingkungan kumuh yang lebih banyak menawarkan jalan pintas daripada pendidikan. Korban sistem yang kerap melihat mereka sebagai masalah yang harus dihukum, bukan sebagai generasi yang perlu diselamatkan,” kata Isa, Selasa (20/5/2025).
Ia menilai Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya butuh pendekatan baru untuk membina anak bermasalah dengan memanfaatkan Kampung Anak Negeri (KANRI) dan Asrama Bibit Unggul.
Karena hasil evaluasinya, anak binaan asrama yang kembali ke lingkungan asalnya, kembali menghadapi tantangan yang sama.
“Inilah mengapa Surabaya butuh pendekatan baru. Bukan hanya menyelamatkan anak untuk sementara, tapi menyelamatkan masa depannya secara permanen,” tegasnya.
Menurutnya, Surabaya perlu menerapkan Youth Guarantee seperti Finlandia. Anak tidak hanya ditampung di asrama tapi dibina dalam komunitas yang mendukung dan melibatkan keluarga.
“Karena orang tua akan dihadirkan secara berkala untuk bertemu dengan anak anaknya yang menjalani proses belajar di tempat tersebut. Dan ini mempunyai kemiripan dengan Kampung Anak Negeri atau Asrama Bibit Unggul,” beber Isa.
Selain itu mencakup pelatihan keteranpilan; pendampingan mentor, magang di perusahaan lokal, lalu orang tua anak juga diberdayakan.
“Bayangkan jika A, setelah keluar dari asrama, dapat pelatihan servis HP dan dibimbing oleh seorang mekanik yang peduli. Atau jika ibunya dilatih membuat kue dan diberi modal kecil. Bukankah peluang mereka untuk hidup lebih baik akan jauh lebih besar,” kata Isa.
Ia berharap, KANRI bisa bertransformasi jadi pusat kegiatan komunitas.
“Warga sekitar pun bisa dilibatkan sebagai pengajar, mentor, atau orang tua asuh,” tambahnya.
Selain itu ia usul ada program satu RT satu mentor, memberdayakan pemuda karang taruna atau ibu PKK.
“Saya juga mengusulkan program Kelas Kedua, yakni pembelajaran alternatif bagi anak-anak yang tidak cocok dengan pendidikan formal, agar tetap bisa belajar sambil magang di bengkel atau warung kopi,” terangnya.
Pemkot Surabaya bisa melibatkan perguruan tinggi sebagai mitra pendamping, serta UMKM lokal untuk membuka kesempatan magang. Sedangkan untuk sumber dana bisa berasal dari CSR perusahaan dan dana desa. (lta/saf/ipg)