
Kasus dugaan bunuh diri Timothy Anugerah Saputra Mahasiswa Universitas Udayana (Unud) Bali, membuka luka lama soal perundungan (bullying) yang belum tertangani dengan serius.
Timothy meninggal dunia usai melompat dari lantai empat Gedung Sudirman, Denpasar, Bali, Rabu (15/10/2025). Belakangan terungkap, korban menjadi sasaran perundungan rekan-rekannya sendiri di sebuah grup WhatsApp yang beranggotakan enam orang.
Di grup tersebut, korban dihina dan dijadikan bahan olokan hingga diduga mengalami tekanan berat secara psikologis.
Menanggapi hal itu, Lia Istifhama Anggota DPD RI Provinsi Jawa Timur menyampaikan keprihatinan mendalam dan mendorong keterlibatan aktif kementerian terkait, khususnya Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi.
“Kita tidak bisa anggap remeh kasus ini. Perundungan bukan hanya terjadi di tingkat sekolah dasar atau menengah. Lingkungan kampus yang seharusnya menjadi tempat pendidikan karakter justru jadi tempat terjadinya kekerasan verbal,” kata Lia dalam keterangannya, Senin (20/10/2025).
Menurutnya, selama ini regulasi yang melindungi korban perundungan hanya fokus pada anak-anak, melalui Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Padahal, kata dia, bullying bisa menimpa siapa saja, termasuk mahasiswa dewasa.
“Kalau korbannya sudah di atas 18 tahun, mereka tidak masuk kategori anak, lantas siapa yang melindungi? Ini celah yang harus ditutup dengan regulasi baru. Pemerintah tidak boleh hanya diam,” tegas Lia.
Kemudian, Lia juga menyinggung minimnya sanksi sosial dan pidana yang diberikan kepada pelaku perundungan. Bahkan, dalam kasus Timothy, setelah korban meninggal, pelaku masih sempat melontarkan komentar tidak pantas di grup WhatsApp angkatan yang kemudian viral di media sosial.
Beberapa tanggapan yang beredar di grup tersebut di antaranya menyebut “Nanggung banget kalau bunuh diri dari lantai 2 yak” dan “Nahan tawa gw jir wkwkwk”, yang memperlihatkan minimnya empati dari terduga pelaku perundungan.
“Ini bukan lagi sekadar pelanggaran etika, tapi krisis moral yang serius. Bagaimana mungkin di lingkungan kampus tidak ada lagi sisi kemanusiaan?” ujarnya.
Sebagai langkah cepat, pihak kampus menjatuhkan sanksi Pemberhentian Tidak Dengan Hormat (PTDH) kepada sejumlah pelaku yang terlibat dalam organisasi kemahasiswaan, seperti Himapol FISIP Unud.
Mereka adalah Maria Victoria Viyata Mayos, Muhammad Riyadh Alvitto Satriyaji Pratama, Anak Agung Ngurah Nanda Budiadnyana, dan Vito Simanungkalit.
Lia menilai, hukuman bagi pelaku bullying selama ini terlalu ringan. Dia bahkan menyinggung kasus Mario Dandy yang sempat mendapat remisi 90 hari saat HUT RI ke-80, padahal perbuatannya terhadap David Ozora tergolong keji.
“Kita harus evaluasi ulang sistem pemberian hukuman di Indonesia. Jangan sampai kejahatan yang menghilangkan masa depan atau nyawa seseorang hanya diberi sanksi biasa-biasa saja,” tegasnya.
Lebih lanjut, Lia mendorong agar sanksi sosial diberikan secara terbuka, termasuk keterbukaan identitas pelaku perundungan agar menimbulkan efek jera. Bagi pelaku di bawah umur, orang tua juga harus ikut bertanggung jawab secara sosial.
“Kalau tidak ada efek jera, kasus seperti ini akan terus berulang. Ini bukan cuma soal hukum, tapi juga soal akhlak dan kemanusiaan,” pungkas Lia.(faz/rid)