
Kasus keracunan yang menimpa siswa penerima Makan Bergizi Gratis (MBG) kerap terjadi di beberapa daerah.
Terbaru pada Juli 2025 lalu, ratusan siswa di Nusa Tenggara Timur (NTT) dengan gejala mual, muntah, diare, dan pusing, setelah menyantap paket MBG.
Pada Kamis (21/8/2025) lalu, Zulkifli Hasan (Zulhas) Menteri Koordinator (Menko) Bidang Pangan saat berkunjung ke Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) Kecamatan Wonocolo Surabaya, sempat menyebut kalau pengawasan mutu MBG telah melibatkan pengawasan dari ahli gizi, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), dan pemerintah daerah. Sehingga kebersihan dan kualitas makanannya sudah pasti terjaga.
Zulhas juga sempat mengatakan adanya reaksi kesehatan dari penerima MBG bisa disebabkan karena faktor belum terbiasa atau alergi dengan menu yang disajikan.
Mengenai hal itu, Heni Adhianata Ketua Program Studi Seni Kuliner Akademi Kuliner dan Patiseri Ottimo International menerangkan bahwa keracunan makanan disebabkan tiga hal yakni, kontaminasi bahan kimia, alergen di dalam makanan, dan bakteri.
Tapi, lanjut Heni, jika keracunan terjadi secara massal, faktor penyebabnya karena pengolahan bahan makanan yang kurang higienis atau proses masak yang kurang matang.
“Ini biasanya dari proses pengolahan makanan yang tidak higienis, disimpan di suhu yang tidak sesuai standar, proses masak yang kurang sempurna, juga cara penyajian yang tidak higienis,” katanya, dikonfirmasi Minggu (24/8/2025).
Menurut Heni terdapat beberapa bahan makanan yang kerap menjadi penyebab keracunan yakni, makanan dengan kandungan protein tinggi seperti, ayam, telur, daging, dan ikan.
Karena, dalam makanan dengan protein tinggi terdapat bakteri yang kalau tidak dibersihkan atau diolah dengan benar, dapat memicu keracunan.
“Misal, masak daging ayam dan ikan, itu beda dengan daging sapi. Mereka dimasak sampai matang sempurna. Sedangkan daging sapi dengan kualitas bagus, boleh diolah dengan tingkat kematangan vafiatif,” jelasnya.
Sementara untuk mengantisipasi kasus serupa Heni menyebut ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Pertama, kualitas bahan baku harus. Kedua, kualitas pengolahan.
Selain itu, perlu dilakukan komunikasi antara pihak sekolah dan wali murid untuk memberikan catatan terkait alergen tertentu.
“Kalaupun tidak ada tes alergen, pihak sekolah bisa komunikasi dengan orang tua, apakah anaknya memiliki alergi tertentu sebagai langkah preventif,” tutupnya.(kir/iss)