
Hakan Fidan Menteri Luar Negeri Turki menegaskan pentingnya kesepakatan antara Iran dan Amerika Serikat (AS) untuk meredam konflik berkepanjangan di Timur Tengah, pasca-serangan udara dan ketegangan militer antara Israel dan Iran.
Dalam siaran langsung televisi, Jumat (28/6/2025) waktu setempat, Fidan menyatakan bahwa baik Iran maupun AS sama-sama menunjukkan keinginan untuk bernegosiasi, dan saat ini adalah waktu yang tepat untuk memulai proses diplomasi baru.
Ia juga mengungkapkan bahwa pertemuan antara Recep Tayyip Erdogan Presiden Turki dan Presiden AS Donald Trump dalam KTT NATO di Den Haag berlangsung konstruktif.
“Masalah-masalah regional, terutama Gaza, Rusia-Ukraina, dan Iran, menjadi fokus utama. Pertemuan ini berjalan dengan sangat baik,” ujar Fidan seperti dilansir kantor berita Anadolu, Sabtu (28/6/2025).
Fidan mengatakan, para pemimpin Eropa juga mencatat pesan Trump Presiden soal rendahnya anggaran pertahanan anggota NATO. Hasilnya, tercapai kesepakatan untuk meningkatkan anggaran pertahanan hingga lima persen dalam 10 tahun ke depan.
Rinciannya 3,5 persen untuk pertahanan inti dan 1,5 persen untuk infrastruktur kritis, siber, dan industri pertahanan.
Sementara menjelang KTT NATO berikutnya yang dijadwalkan di Turki pada 2026, Fidan menyebut lokasi masih dalam pertimbangan antara Istanbul dan Ankara.
Terkait konflik antara Israel dan Iran, Fidan menyatakan bahwa serangan Israel telah memicu Iran untuk bertindak dalam “pembelaan sah”. Ia menilai bahwa kekuatan Israel dalam menghancurkan fasilitas nuklir Iran ternyata tidak sebesar klaim mereka.
“Konflik selama 12 hari ini memang berhenti sementara, tetapi gencatan senjata hanya berdasar asumsi bahwa kemampuan nuklir Iran sudah hancur. Padahal, kawasan ini harus tetap waspada terhadap kemungkinan pecahnya kembali serangan,” ujarnya.
Ia menyebut bahwa tindakan Benjamin Netanyahu Perdana Militer Israel juga dipengaruhi kepentingan politik domestik, yang kerap “membakar kawasan” demi keuntungan pribadi.
Di sisi lain, Fidan mengungkapkan, hasil serangan AS terhadap fasilitas nuklir Iran telah memberikan dampak besar terhadap program nuklir negara tersebut. Namun, ia meyakini bahwa upaya diplomasi nuklir bisa dimulai kembali, seperti pada masa pemerintahan Barack Obama.
“Kendala utama adalah ruang lingkup negosiasi. Jika AS hanya membahas isu nuklir, Iran mungkin bersedia. Tapi jika mencakup isu lain, Iran kemungkinan besar menolak,” ujar Fidan.
Ia menambahkan jika proposal AS menuntut Iran untuk menyerah total atau menghapus kemampuan militernya di luar nuklir, maka hal itu tidak akan diterima di Teheran.
Fidan mengonfirmasi bahwa ia menerima panggilan dari Menteri Luar Negeri AS Marco Rubio saat Israel menyerang Iran. Dalam pembicaraan itu, AS menekankan bahwa mereka tidak terlibat langsung dalam serangan dan meminta Iran untuk tidak menyerang mereka.
“AS menyampaikan bahwa mereka hanya khawatir terhadap keselamatan personel dan fasilitas AS di kawasan,” kata Fidan.
Fidan juga berdiskusi dengan Abbas Araghchi Menlu Iran, dan menyampaikan bahwa serangan AS tampaknya terbatas pada fasilitas nuklir, bukan perang skala penuh.
“Pesan yang disampaikan Iran kepada kami adalah: kalau ini hanya serangan terbatas, maka respons mereka juga akan terbatas,” kata Fidan, mengutip isi pertemuan tersebut. Ia menyebut hal ini sebagai bentuk “pengendalian eskalasi” yang mirip dengan respons Iran pasca pembunuhan Qassem Soleimani tahun 2020.
Saat ditanya soal kemungkinan pertemuan antara Trump Presiden dan Masoud Pezeshkian Presiden Iran di Turki, Fidan tidak memberikan konfirmasi.
Namun, ia mengatakan bahwa “berbagai proposal besar diajukan karena kepercayaan internasional terhadap kepemimpinan Erdogan.”
Ia menyebut bahwa proses mediasi Oman yang pernah dilakukan sebelumnya bisa dihidupkan kembali. “Saya percaya mereka bisa mencapai kesepahaman terkait isu nuklir,” ujarnya. (bil/faz)