
Kejaksaaan Agung (Kejagung) beberapa waktu lalu telah meneken nota kesepahaman (Memorandum of Understanding/MoU) dengan operator telekomunikasi di Tanah Air untuk melakukan penyadapan.
Meski tujuannya untuk mempercepat proses hukum, kebijakan ini justru menimbulkan kekhawatiran publik terkait perlindungan data pribadi dan penyalahgunaan wewenang, hingga lahirnya sebuah lembaga super power.
Menurut Indria Wahyuni Dosen Hukum Administrasi Universitas Airlangga (Unair), nota kesepahaman itu memang berpotensi menimbulkan kekhawatiran masyarakat jika pelaksanaannya tidak disertai prosedur yang transparan dan partisipatif.
“Kalau kita lihat dari segi kebijakan, bagaimanapun pemerintah itu selaku provider bagi masyarakat. Dia itu penyedia layanan, tapi dia juga sebagai protector for the community. Nah, ini menjadi sangat aneh begitu kalau dia malah menimbulkan kekhawatiran bagi masyarakat,” ujarnya dalam program Wawasan Suara Surabaya, Senin (21/7/2025).
Indria menegaskan bahwa memperoleh data pribadi seseorang seharusnya hanya bisa dilakukan dengan persetujuan (consent) dari pihak yang bersangkutan.
Ia juga menyoroti bahwa isu perlindungan data di Indonesia belum menjadi perhatian utama. Akibatnya, ketakutan akan adanya potensi penyalahgunaan informasi pribadi, seperti yang kerap terjadi di media sosial, makin besar.
“Isu ini sangat-sangat secara signifikan, karena mungkin di Indonesia, isu mengenai data protection ini belum terlalu digaungkan ya. Kita lihat sendiri di sosial media itu, datanya orang bisa ter-doxing, ditempelkan begitu saja oleh orang yang tidak bertanggung jawab,” jelasnya.
Sementara terkait penyadapan yang disebut hanya dilakukan terhadap pihak yang sedang dalam proses hukum, Indria menilai pernyataan itu masih multitafsir.
“Agak sumir ya, bahasanya ya. Maksudnya, ya pasti, tapi kan multitafsir. Kan bahasanya ini multitafsir. Nah, ini nanti menimbulkan… masyarakat ini kan bisa jadi berbagai macam pendapat,” katanya.
Sebagian masyarakat menurutnya mungkin tidak khawatir karena merasa tidak melakukan pelanggaran hukum. Namun di sisi lain, tidak adanya kejelasan prosedur bisa membuka ruang terjadinya penyalahgunaan wewenang.
“Ada positif poinnya untuk memang disadap. Namun ada negatif poinnya. Bagaimana bila itu disalahgunakan, kan? Kita tidak tahu. Pada saat tidak melalui prosedur, kalau kita bicara tentang keabsahan tindakan pemerintahan, itu kan selain kewenangan, yang penting itu kan prosedur pelaksanaan,” tegas Indria.
Karenanya, Dosen Administrasi Hukum Unair itu mengingatkan, pemerintah tidak boleh menormalisasi praktik penyadapan tanpa kerangka hukum yang kuat.
Dia merekomendasikan Kejagung supaya bisa menjelaskan secara rinci isi MOU serta prosedur penyadapan tersebut. Hal ini diperlukan agar publik memahami kebijakan dan turut mengawasi pelaksanaannya.
“Rekomendasi yang paling bisa ditemukan saat ini adalah dijelaskan, MOU itu tentang bagaimana. Lalu kalau memang diperlukan, harus ada tata cara yang jelas, mengapa penyedapan dilakukan. Misal ada indikasi dengan alat bukti, lalu dilakukan penyedapan. Atau memang penyedapan tidak mendapatkan persetujuan dari siapa dulu. Harus ada,” tegasnya.
“Prosedurnya harus dijelaskan dan pengawasan yang harus dilakukan, supaya hal yang sebenarnya positif ini masyarakat bisa menerima secara gamblang, secara jelas. Kita juga tahu aturan mainnya seperti apa,” imbuhnya.
Lebih lanjut, Indria menilai MOU ini memang bisa mempercepat proses hukum, tetapi niat baik itu tetap harus ditopang oleh tata kelola pemerintahan yang baik.
“Terkadang niat baik juga harus didukung oleh prosedur yang benar. Supaya nanti tindakan tersebut tidak menimbulkan permasalahan di belakang hari,” kata dia.
Indria mengingatkan bahwa Kejagung sebagai bagian dari institusi pemerintah, tetap terikat pada asas umum pemerintahan yang baik dan prinsip kehati-hatian.
“Harus berdasarkan peraturan perundang-undangan. Dan juga harus berdasarkan pada asas pemerintahan yang baik. Bagaimana kecermatan pemerintah dalam melakukannya,” pungkasnya. (bil/iss)