
Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) mendesak Prabowo Subianto Presiden untuk segera menghapus sistem outsourcing atau alih daya. Desakan ini disampaikan dalam deklarasi pembentukan Koalisi Serikat Pekerja–Partai Buruh (KSP-PB), yang mendapat dukungan dari lebih dari 4 juta anggotanya, termasuk pekerja di sektor pertanian, perikanan, pelayaran, dan medis.
Said Iqbal Presiden KSPI menilai bahwa sistem outsourcing yang melibatkan agen tenaga kerja, merugikan pekerja karena mengurangi hak-hak mereka.
Ia juga menegaskan bahwa sistem outsourcing yang disamarkan dengan program pemagangan atau mitra kerja, harus dilarang, dan kelas pekerja harus lebih dilibatkan dalam politik serta legislasi untuk melawan dominasi modal.
Prabowo sebelumnya telah menyatakan komitmennya untuk menghapus sistem outsourcing dalam peringatan Hari Buruh dan akan diwujudkan melalui pembentukan Dewan Kesejahteraan Buruh Nasional yang berperan sebagai penasihat presiden dalam merumuskan kebijakan ketenagakerjaan.
Suhariwanto pakar hukum Universitas Surabaya (Ubaya) menyampaikan, sistem outsourcing telah diatur dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Namun, setelah adanya revisi melalui UU Cipta Kerja, aturan mengenai outsourcing menjadi ketentuan yang lebih jelas dan definitif.
“Jika pemerintah berencana menghapus outsourcing, maka itu harus melalui revisi ulang terhadap UU tersebut. Beberapa pasal terkait outsourcing harus dihapus,” ujarnya dalam program Wawasan Radio Suara Surabaya, Rabu (21/5/2025).
Lantas, apakah menghapus outsourcing menyelesaikan masalah? Suhariwanto menegaskan bahwa hal ini tidak sesederhana itu.
Ia mengatakan bahwa menghapus outsourcing berarti akan berdampak besar pada perusahaan-perusahaan yang selama ini memperkerjakan tenaga kerja melalui skema outsourcing.
“Ini yang menjadi masalah. Di satu sisi akan mengangkat posisi tenaga kerja. Tapi di sisi lain pasti nanti muncul pengangguran,” sebutnya.
Hal ini karena alih daya tersebut mempersiapkan tenaga kerja yang seharusnya tidak disiapkan oleh perusahaan pengguna.
Saat ini, banyak perusahaan yang bergantung pada sistem outsourcing, seperti penyedia layanan keamanan. Jika outsourcing dihapus, perusahaan pengguna mungkin harus berpikir ulang, karena mereka selama ini sudah memanfaatkan tenaga kerja yang sudah terlatih dan disiapkan oleh perusahaan outsourcing.
Selain itu, jika outsourcing dihapus tanpa perencanaan yang matang, akan ada dampak besar bagi tenaga kerja yang selama ini bekerja di perusahaan-perusahaan outsourcing.
Mereka akan terancam kehilangan pekerjaan karena perusahaan pengguna tak memiliki kewajiban untuk menampung mereka, mengingat hubungan hukum mereka hanya dengan perusahaan outsourcing.
Suhariwanto menambahkan, pengawasan dalam hal pengupahan dan pengaturan perjanjian kerja juga sangat penting. Ketika seorang pekerja diberhentikan, apakah kompensasi dan hak-haknya sudah diberikan sesuai aturan yang berlaku? Misalnya, untuk perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT), apakah sudah sesuai dengan ketentuan yang ada? Selama ini, ada banyak persoalan dalam implementasi aturan tersebut.
Oleh karena itu, perlu ada kerja sama yang baik antara pemerintah, dinas yang menaungi ketenagakerjaan, dan perusahaan-perusahaan alih daya untuk memastikan bahwa hak-hak pekerja dilindungi dan diimplementasikan dengan benar. (saf/iss)