
Persoalan anak bekebutuhan khusus di Indonesia ibarat seperti “Gunung Es”. Hal tersebut tergambar dalam Kuliah Pakar yang diadakan Universitas Nahdlatul Ulama Surabaya (Unusa).
Dalam acara Kuliah Pakar di Unusa, Ukai Saito Pakar pendidikan dukungan anak disabilitas (special needs education) dari Tasuc Corporation, berbagi cara mendidik ABK dengan memperkenalkan modul Japannese Seven Key Point (J*sKeps), yang dirancang untuk meningkatkan kompetensi pendidik dalam menangani ABK di beberapa negara.
Ia memaparkan tujuh langkah kunci dari proses asesmen, pelibatan orang tua, penyesuaian lingkungan, hingga cara memberi penilaian atas perkembangan ABK.
Tidak hanya mempresentasikan ilmu, Ukai Saito juga berbagi panduan praktis yang bermanfaat bagi pengajar dan orang tua.
Menurutnya, banyak ketidaksengajaan yang dilakukan orang tua dalam memperlakukan ABK. Salah satunya, menuntun anak ABK. Ternyata, menuntun anak dengan cara menggenggam pergelangan lalu mengajaknya berjalan itu tidak tepat, karena itu berarti kita yang mendominasi dan menguasai anak.
“Cara yang benar adalah kita mengulurkan tangan, kemudian membiarkan tangan anak yang meraih dan menggenggam jari-jari kita. Dengan demikianlah si anak yang memegang kendali,” katanya Rabu (9/7/2025) seperti dalam siaran pers Unusa yang diterima suarasurabaya.net.
Dalam kesempatan itu, ia mengajak peserta kuliah untuk mempraktikkan cara dari memegang pensil hingga cara mewarnai menggunakan crayon sehat (berbahan dasar beras).
Kemudian, ia mengajari peserta mewarnai segitiga yang terbagi dalam beberapa bidang. Terbukti banyak peserta yang salah dalam mengerjakannya. Seharusnya, yang diwarnai terlebih dahulu adalah bidang yang paling besar, baru dilanjutkan ke bidang yang lebih kecil sampai yang paling kecil.
Lalu ia memberi penjelasan, bahwa anak mulai melatih motorik halusnya di atas bidang besar dulu, karena lebih mudah. Kemudian, bertahap pindah mewarnai bidang yang berukuran lebih kecil, hingga akhirnya yang paling kecil.
Ukai Saito, mengingatkan bahwa masalah tersebut harus ditangani dengan serius. Di Jepang tercatat puluhan ribu kasus orang tua bunuh diri gara-gara putus asa memiliki keturunan ABK dan khawatir tidak mampu merawat, sepeninggalannya. Untuk itu dirinya berharap pemerintah Indonesia juga mau memberi prioritas terhadap penanganan ABK. (dis/ipg)