Supangat Wakil Rektor II Universitas 17 Agustus 1945 (Untag) Surabaya menyatakan, society 5.0 merupakan kerangka pemikiran tentang masyarakat masa depan yang mengintegrasikan dunia fisik dan digital untuk menciptakan kehidupan yang lebih manusiawi.
Kemajuan teknologi mulai dari Artificial Intelligence (AI), big data, hingga Internet of Things menurutnya, bukan hanya untuk mempermudah kehidupan sehari-hari, tetapi juga menyeimbangkan kemajuan ekonomi dengan nilai sosial.
“Konsep ini lahir sebagai upaya menjaga agar manusia tetap menjadi pusat perhitungan, meskipun teknologi semakin mendominasi kehidupan sehari-hari,” katanya, Minggu (14/12/2025).
Society 5.0, kata dia, bukan sekadar jargon futuristik, tapi menjadi lensa untuk menilai kesiapan masyarakat menghadapi tantangan digital sekaligus risiko tidak meratanya akses dan literasi digital.
“Realitas di lapangan menunjukkan masih banyak wilayah yang sulit mengakses layanan digital berkualitas, misalnya di beberapa daerah pinggiran dan desa yang belum terjangkau infrastruktur internet memadai. Tingkat literasi teknologi masyarakat pun bervariasi, sehingga efektivitas layanan publik digital dan peluang ekonomi baru tidak merata. Hal ini menegaskan bahwa janji utopis teknologi harus diuji dengan fakta nyata di masyarakat,” jabarnya.
Di Indonesia, kata dia, digitalisasi membuka akses pendidikan lebih luas, mempercepat layanan publik, dan menciptakan peluang ekonomi baru. Tapi terdapat tantangan berupa ketimpangan digital, belum meratanya literasi teknologi, dan sebagian masyarakat masih kesulitan mengikuti arus inovasi.
Bahkan, lanjut dia, kasus kebocoran data pribadi yang ramai diberitakan dan kontroversi penggunaan AI di sektor pemerintahan menegaskan bahwa janji yang disampaikan sering hanya menjadi “tayangan” sementara bagi sebagian masyarakat dan tidak benar-benar merasakan manfaatnya.
Selain itu, di wilayah yang sudah terhubung, efektivitas teknologi menurutnya juga masih dipengaruhi oleh kemampuan masyarakat memanfaatkan layanan digital.
“Teknologi yang seharusnya memberdayakan bisa berbalik menjadi alat eksklusi, memperkuat dominasi platform besar, dan meminggirkan kepentingan publik,” ucapnya.
Ia menegaskan bahwa teknologi memberi peluang, namun tanpa kebijakan inklusif dan pengawasan ketat, kemajuan teknologi justru bisa menambah krisis. Bahkan menurutnya, AI juga bisa mengancam perkerjaan tradisional jika tidak ada infrastruktur digital yang tidak merata, dan nantinya juga bisa menimbulkan jejak karbon besar, sementara kontribusinya untuk mitigasi perubahan iklim masih terbatas.
“Di sinilah sisi reality show terlihat jelas, di atas panggung digital, masyarakat diajak menyaksikan janji teknologi, tetapi di belakang layar, banyak yang tertinggal, terpinggirkan, atau menghadapi risiko yang tidak mereka sadari. Janji Society 5.0 hanya bisa terwujud jika manusia tetap menjadi pusat perhitungan, bukan sekadar data dan algoritma,” jelasnya.
Pihaknya menekankan pentingnya peran perguruan tinggi dalam hal tersebut. Menurutnya, kampus harus mendidik generasi yang tidak hanya mahir secara teknis, tetapi juga kritis terhadap implikasi sosial, etika, dan moral teknologi.
Mahasiswa perlu memahami risiko ketimpangan digital, menjaga privasi data, dan menuntut keadilan dalam regulasi AI. Begitu juga masyarakat sipil, yang harus aktif merebut narasi teknologi agar digitalisasi benar-benar membawa keadilan dan kesejahteraan bagi semua.
“Di lapangan, ketimpangan akses digital dan variasi literasi teknologi terlihat memengaruhi sejauh mana masyarakat dapat memanfaatkan layanan publik dan peluang ekonomi. Kesadaran akan perbedaan ini mendorong perguruan tinggi dan masyarakat untuk bekerja sama, memastikan teknologi benar-benar menjadi alat pemberdayaan, bukan sekadar ilusi futuristik,” jelasnya.
Optimisme terhadap teknologi menurutnya harus dibarengi kewaspadaan, dan society 5.0 harus menjadi panduan untuk membangun masyarakat yang pintar, inklusif, dan beretika.
“Perkembangan teknologi dan transformasi digital bisa meredam kekhawatiran publik terhadap isu ketimpangan, privasi data, fairness AI, dan dampak lingkungan. Masa depan digital Indonesia ada di tangan kita, dan perguruan tinggi memiliki peran strategis memastikan teknologi menjadi alat pemberdayaan, bukan sekadar ilusi futuristik,” pungkasnya. (ris/saf/ham)
NOW ON AIR SSFM 100
