
Dr. Sri Setiadji Pakar Hukum Pertanahan Universitas 17 Agustus 1945 (Untag) Surabaya menegaskan pemerintah pusat tidak bisa asal mengambil alih objek tanah terlantar untuk kemudian diserahkan ke organisasi masyrakat (ormas).
Kebijakan tersebut diatur sejak era Joko Widodo Presiden ke-7 RI dalam Pasal 7 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 20 Tahun 2021 yang mengatur tentang objek penertiban kawasan dan tanah terlantar.
Namun Setiadji menegaskan di dalam Undang-Undang No.26 tahun 2007 tentang Rencata Tata Ruang Wilayah (RTRW) menyebut bahwa yang memiliki hak administrasi teritori adalah pemerintah kota/kabupaten. Sementara pemerintah pusat tidak disebutkan di dalam undang-undang tersebut.
“Saya membaca dalam konsideran UU No.26 tahun 2007 tentang RTRW tidak tercanctum (pemerintah pusat) di sana, ini kalau dari perspektif hukum akan bersifat konflik karena yang punya wilayah adiministrasi teritori adalah pemerintah kota/kabupaten yang memiliki kompetensi atribusi berkaitan dengan penataan dan penggunaan ruang,” ujar Setiadji saat mengudara dalam Program Wawasan Polling Radio Suara Surabaya, Kamis (24/7/2025).
Pakar Hukum Pertanahan itu juga menyebut bahwa Badan Pertanahan Nasional (BPN) juga tidak memiliki wewenang atas hal mengambil alih tanah, sebab tidak memiliki teritori dan hanya instansi teknis.
“Seharusnya karena daerah yang memiliki teritori administrasi mau diatur bagaimana tentang penataan ruang itu kewenangan pemerintah daerah. BPN gapunya teritori hanya instansi teknis,” jelasnya.
Meski begitu, apabila pemerintah pusat tetap ingin menjalankan aturan PP No.20 tahun 2021 untuk mengambil alih tanah, maka harus ada ganti nilai kepada pemilik hak sehingga tidak asal ambil alih.
Sebab tanah yang dikuasi negara itu akan menjadi dihapus sehingga pemerintah pusat harus memberikan ganti rugi.
“Jado tidak cuma-cuma. Misalnya saya pengembang punya HGU yang luasnya 200 hektare, tapi saya belum mampu cari investor sehingga tanah itu dikatakan tanah terlantar, itu boleh diambil (dan memberi ganti rugi) jadi kewenangan negara, tapi harus dilihat peruntukkan dan penggunaan, nah itu yang punya pemerintah daerah,” jelasnya.
Sementara itu Setiadji menilai negara tidak memiliki dasar hukum ketika mengatur bahwa tanah yang diambil alih akan diserahkan kepada ormas.
Setiadji menyatakan dalam konsep Sosialisme Indonesia yang tercantum dalam Pasal 11,12,13 Undang-Undang Dasar 1945 disebutkan bahwa hanya koperasi yang memiliki hak untuk menguasai tanah secara besar-besaran.
“Hanya koperasi yang boleh memiliki tanah besar-besaran, itu sosialisme Indonesia adab-adab pemerataan, pemanfaatan sehingga masyarakat kita derajatnya petani ya jadikan petani bagaimana negara mengatur. Jadi kalau negara memberika tanah, maaf kepada ormas, apa dasar hukumnya,” tegasnya.(wld/ipg)