Rabu, 27 Agustus 2025

Pemprov Jatim Siap Terapkan Pengelolaan Sampah Berbasis Model Ekonomi Sirkular

Laporan oleh Wildan Pratama
Bagikan
Susi Agustina Wilujeng Kepala Departemen Teknik Lingkungan FT-SPK Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya memaparkan prinsip 9R dalam ekonomi sirkular dalam Acara Circular Ekonomi Forum 2025 di Surabaya. Foto: Istimewa.

Pemerintah Provinsi Jawa Timur berkomitmen mengimplementasikan kebijakan pengelolaan sampah berbasis model ekonomi sirkular untuk menciptakan ekosistem ekonomi baru yang berkelanjutan.

Komitmen mengimplementasikan kebijakan tersebut dibahas dalam forum Circular Economy Forum 2025, di Kota Surabaya.

Prinsip utama dari pengelolaan sampah berbasis model ekonomi sirkular adalah mengedepankan pengelolaan sumber daya dan limbah yang bertujuan untuk meminimalkan pembuangan sampah dan memaksimalkan penggunaan material.

Nurkholis Plt. Kepala Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Jatim menjelaskan, untuk menjalankan kebijakan itu diperlukan dukungan seluruh lapisan masyarakat, dari tingkat rumah tangga hingga industri besar.

“Beberapa langkah konkret yang kita jalankan, yakni memperkuat Gerakan “Bank Sampah” dan “TPS 3R” di setiap desa/kelurahan karena hal ini merupakaan ujung tombak dimana sampah dipilah dan memiliki nilai jual sejak dari sumbernya,” ujarnya dalam keterangannya, Rabu (27/8/2025).

Nurkholis melanjutkan, saat ini pemerintah daerah di Jawa Timur sedang berupaya mengurangi sampah dari sumbernya. Sebab, jenis karakteristik sampah di masyarakat sebanyak 60,94 persen merupakan sampah organik.

Sampah organik bisa dijadikan pupuk kompos sebagai bahan perbaikan kualitas media tanam baik pertanian atau perkebunan organik. Sedangkan 38,06 persen merupakan sampah anorganik yang dikelola dengan prinsip 3R (reduce, reuse, recycle).

Selain itu, Pemprov Jatim juga bersinergi melalui pendekatan model sirkular ekonomi yang melibatkan komunitas pemilah sampah. Sehingga, terjadi pengembangan bank sampah di kabupaten/kota di Jatim.

Untuk diketahui, saat ini bank sampah di Jatim mencapai 5170 unit, kemudian program inovasi Desa Berseri sebanyak 1.126 desa/kelurahan serta TPST 3R sebanyak 223 unit.

Langkah penting lainnya, lanjut Nurkholis, adalah mendorong inovasi dan kewirausahaan hijau melalui dukungan permodalan, pelatihan, dan pemasaran kepada pelaku usaha daur ulang dan industri kreatif yang mengolah sampah menjadi produk bernilai tinggi.

“Membangun Kemitraan Strategis dengan Dunia Industri. Kami mendorong industri untuk menerapkan Extended Producer Responsibility (EPR) atau Tanggung Jawab Produsen yang diperluas sesuai Permen LHK No. 75 Tahun 2019 tentang Peta Jalan Pengurangan Sampah oleh Produsen,” ucapnya.

Dengan langkah tersebut, produsen akan bertanggung jawab atas kemasan produknya setelah konsumsi, baik melalui program take-back, daur ulang, atau redesign kemasan yang lebih ramah lingkungan.

Pada kesempatan yang sama, Armytanti Hanum Regional Public Affairs Manager CCEP (Coca-Cola Europacific Partners) Indonesia menegaskan, perseroan konsisten melaksanakan penerapan Permen LHK Nomor 75 Tahun 2019 tentang Peta Jalan Pengurangan Sampah oleh Produsen.

Armytanti menyatakan, pihaknya juga memaksimalkan pekerja sampah dan menguatkan sistem daur ulang.

“Hal itu perlu dilakukan karena 85 persen sampah plastik yang masuk ke industri daur ulang di Indonesia dikumpulkan oleh sektor informal serta 20 persen pekerja sektor informal di Indonesia yang memiliki akses terhadap perlindungan sosial,” jelasnya.

Sementara itu, Susi Agustina Wilujeng Kepala Departemen Teknik Lingkungan FT-SPK Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya menegaskan, di Indonesia ada lima sektor besar yang berpotensi mengadopsi pendekatan sirkular.

Antara lain meliputi industri makanan dan minuman, tekstil, konstruksi, grosir dan eceran, serta perdagangan dan peralatan listrik atau elektronik.

Sedangkan terkait hambatan yang ada dalam pengembangan ekonomi sirkular di Indonesia adalah terkait susahnya mengubah kebiasaan masyarakat yang ada, kurangnya infrastruktur pendukung, kegagalan dalam implementasi serta pelaksanaan program, dan konsekuensi atas peraturan yang sudah ada.

“Juga, pengelolaan akhir yang tidak memadahi, target serta tujuan yang tidak terdefinisi dengan baik, kerangka hukum yang tidak memadahi, nonprofitable, sumber informasi yang terbatas, serta kurangnya modal penggerak yang ada,” tukasnya.(wld/rid)

Berita Terkait

Potret NetterSelengkapnya

Kecelakaan Mobil di Jembatan Suramadu, Kondisinya Ringsek

Kecelakaan Bus Tabrak Belakang Truk di KM 749 Tol Sidoarjo-Waru

Pajero Masuk Sungai Menur Pumpungan

Kecelakaan Truk Tabrak Gardu Tol di Gate Waru Utama

Surabaya
Rabu, 27 Agustus 2025
29o
Kurs