
Prof. Erma Yulihastin Peneliti Klimatologi BRIN (Badan Riset dan Inovasi Nasional) mengungkap, panas ekstrem di Surabaya Raya, Jawa Timur, akan berlanjut hingga akhir Oktober 2025.
Kondisi itu akibat belum ada konsistensi terbentuknya awan atau angin baratan seperti awan nimbostratus atau cumulonimbus yang membawa hujan ke wilayah Surabaya Raya atau Jawa Timur.
Meskipun di wilayah Surabaya sudah mulai turun hujan dalam dua hari terakhir, namun Erma menyebut kondisi itu belum terjadi secara konsisten.
“Kondisi saat ini gangguan cuacanya belum menunjukkan tanda-tanda bahwa musim hujan mulai terbentuk secara konsisten. Artinya kita sampai akhir Oktober ini akan mengalami kondisi cuaca yang panas,” ujar Erma dikonfirmasi suarasurabaya.net, Senin (20/10/2025).
Erma menjelaskan, kondisi di wilayah Surabaya Raya saat ini masih didominasi oleh awan monsun timuran dari wilayah Australia dengan karakter panas dan kering.
“Sekarang ini kan anginnya masih angin timuran yang menunjukkan musim kemarau yang membawa sifat kering dari angin tersebut. Itu belum belum mengalami perubahan menjadi angin Baratan,” jelasnya.
Kondisi tersebut diperparah dengan ganguan musim tropis di wilayah Utara dan perubahan iklim sehingga memicu terjadinya panas ekstrem dengan suhu maksimum hingga 37 derajat celcius.
“Itu yang menyebabkan kenapa terjadi panas yang kering dan menyengat ditambah dengan gangguan tropis yang ada di utara. Sehingga, kita kondisinya minim dari awan, itu yang memperparah. Makanya terjadi hot spell, suhu di atas 37 derajat itu sudah menjadi suhu maksimum saat ini dan seterusnya gitu,” tuturnya.
Erma melanjutkan, wilayah Surabaya Raya seharusnya sudah memasuki fase musim hujan. Namun, karena berbagai faktor tadi dan dampak perbuahan iklim maka menyebabkan periode musim kemarau lebih panjang.
Peniliti BRIN itu juga menyebut fase musim di Jawa Timur pada tahun ini mengalami ambiguitas karena tidak adanya konsistensi antara angin dan curah hujan.
“Pada tahun ini sebenarnya kan mengalami ambiguity ya dalam musim artinya tidak ada konsistensi antara angin dan curah hujan. Jadi anginnya masih musim kemarau. Nah itu ketidakkonsistenan dalam musim efek dari perubahan secara klimatologis,” katanya.
Musim hujan di wilayah Surabaya Raya diprakirakan baru berlangsung secara konsisten pada dasarian pertama Bulan November.
“Nah, ini di Surabaya kita masuk musim hujan secara konsisten itu nanti di November dasarian yang pertama ya. Kalau sekarang itu kondisinya seperti tadi masih tidak konsisten meskipun dua hari ini hujan,” ujarnya
Selain itu, berdasarkan penelitian ilmiah BRIN yang sudah terpublikasi menjadi jurnal mengungkap wilayah Surabaya Raya menjadi kawasan yang paling sensitif dalam merespons perubahan iklim dengan kenaikan suhu mencapai 5 derajat celcius hingga 2050.
Kondisi itu dipicu banyaknya karbon dioksida yang dihasilkan dari wilayah tersebut, kemudian secara tidak langsung karbon itu terperangkap ke dalam atmosfer hingga menyebabkan perubahan iklim.
“Jadi, membentang dari Tuban, Lamongan, Surabaya, Gresik, Mojokerto, Sidoarjo, Bangkalan itu adalah daerah hotspot. Daerah hotspot-nya perubahan iklim ada di situ. Dengan peningkatan suhu maksimum 5 derajat celsius sampai 2050,” pungkasnya.(wld/rid)