
Kendaraan Over Dimension Over Loading (ODOL) belakangan kembali jadi perbincangan hangat masyarakat. Pemicunya, Korps Lalu Lintas (Korlantas) Polri pada pekan lalu membentuk Tim Penegakan Hukum Kelebihan Dimensi dan Muatan (KDM), yang fokusnya memberantas ODOL.
Menanggapi hal ini, Kyatmaja Lookman Ketua Umum Perkumpulan Keamanan dan Keselamatan Indonesia (Kamselindo) turut buka suara. Dia menyebut maraknya kecelakaan hingga kerusakan jalan yang berkaitan dengan ODOL, penyebab dominannya mulai kendaraan yang beroperasi dalam kondisi tua, hingga tidak laik jalan.
“Truk itu kan berapapun usianya, harga ongkos angkutnya tetap sama. Entah itu truk 30 tahun, 20 tahun, 10 tahun, kalau dia mengangkut barang dengan ukuran tertentu, kapasitas tertentu, itu ongkos angkutnya tetap sama. Jadi tidak ada insentif lah ceritanya dari teman-teman itu untuk membeli truk baru,” jelasnya waktu mengudara di program Wawasan Suara Surabaya, Selasa (20/5/2025).
Menurutnya praktik ODOL juga tak lepas dari tekanan ekonomi. Apalagi semakin besar tenaga kendaraan, biasanya dibarengi dengan muatan yang ditambah.
“Karena ongkos angkut yang memang sulit berubah. Karena kalau solar itu nggak naik atau BBM itu nggak naik, maka biaya ongkos angkut juga nggak bisa naik. Dan akhirnya yang terjadi adalah teman-teman berusaha kreatif, menambah muatan dengan cara overloading,” ujarnya.
Lebih lanjut, untuk muatan ringan, truk-truk bahkan dimodifikasi over dimensi agar bisa mengangkut lebih banyak. Kyatmaja menyebut praktik ini turut menjadi dilema tersendiri di kalangan pengusaha.
“Dimana semua persaingannya itu ODOL. Kalau kita nggak ikut, kita juga yang tergilas. Tapi artinya harus ada roadmap lah. Kesana di anggota kita juga sekarang sudah mulai banyak melakukan pembenahan, sehingga ODOL itu sebenarnya pelan-pelan juga mulai berkurang,” tambahnya.
Oleh karena itu, ia menyarankan pemerintah memberikan insentif fiskal untuk kendaraan baru dan ramah lingkungan, sebagaimana praktik yang sudah berjalan di negara-negara maju.
Sementara soal pembentukan Tim Penegakan Hukum KDM yang tidak akan mentolerir ODOL karena dinilai sudah sering membahayakkan keselamatan pengendara hingga merugikan negara karena merusak infrastruktur, Kyatmaja mengaku menyambut baik hal tersebut. Ia menyebut upaya tersebut sebagai langkah positif untuk meningkatkan keselamatan jalan.
Ketum Kamselindo itu menyoroti bahwa selama ini penindakan ODOL kerap terhambat karena wewenang yang terbatas antarinstansi. Menurutnya, Dishub hanya bisa menindak di jembatan timbang, sedangkan Polri di jalan raya.
“Itu langkah bagus. Tapi tantangannya masih banyak. Kita ini masih tersilo-silo (terpisah-pisah) antar instansi. Kementerian Perhubungan hanya bisa menindak di terminal dan jembatan timbang. Polisi bisa menindak di jalan, tapi kadang kurang alat. Mereka tidak punya alat timbang atau pengukur dimensi, jadi hanya berdasarkan penglihatan. Padahal, harus ada pembuktian,” ujar Kyatmaja.
Selain itu, Kyatmaja berharap tim bentukan Korlantas ini benar-benar melibatkan berbagai pihak. Tidak hanya Kepolisian dan Kementerian Perhubungan, tapi juga pemerintah daerah agar. Supaya, penindakan tidak berhenti di jalan, tapi juga menyentuh akar masalahnya.
Menurutnya overdimensi bukan soal tampak besar atau kecil, tapi apakah kendaraan itu melebihi blueprint-nya atau tidak. Blueprint, kata dia, harusnya jadi acuan paten perusahaan karoseri atau pembuat bodi kendaraan.
“Setiap kendaraan punya SKRB (Surat Keterangan Rancang Bangun). Kalau karoseri membangun lebih besar dari blueprint itu, maka itulah overdimensi. Tapi polisi di lapangan sulit mengakses data SKRB tersebut,” ujarnya.
Dia pun menyebut sebetulnya sudah banyak praktik penyimpangan karoseri, yang setidaknya ada dua pelaku utama. Pertama pengusaha membeli bak truk di karoseri liar yang tidak mempunyai Surat Keputusan Rancang Bangun (SKRB).
“Mereka bikin bak sesuai pesanan, tidak sesuai standar. Kedua, karoseri resmi pun kadang nakal, membangun di atas ukuran dari SKRB,” sebutnya.
Hal ini, kata Kyatmja, sulit untuk dideteksi karena tiap perusahaan karoseri bisa punya ribuan SKRB tergantung merek dan varian kendaraan. Dan kendaraan yang overdimensi itu biasanya juga sudah berumur lebih dari 10 tahun.
“Kalau sudah lewat masa berlaku pidana (asas daluwarsa), ya tidak bisa diproses hukum. Inilah kenapa banyak kasus akhirnya dibiarkan,” ucapnya.
Terakhir, dia menyarankan adanya inegrasi data dari sinergi lintas instansi. Selain itu, ada juga kebijakan insentif fiskal yang jelas.
“Kendaraan muda dan ramah lingkungan harus diberi kemudahan, bukan sebaliknya. Kami di Kamselindo akan terus mendorong edukasi dan advokasi kebijakan. Kita ingin semua pihak sadar, bahwa keselamatan harus menjadi prioritas utama. Jangan sampai karena mau untung, kita malah mengorbankan nyawa orang lain,” tutupnya. (bil/iss)