
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 3/PUU-XXII/2024 pekan lalu yang memerintahkan pemerintah menggratiskan biaya pendidikan SD dan SMP sederajat baik negeri maupun swasta memicu banyak tanggapan, khususnya dari kalangan penyelenggara sekolah swasta.
Ahmad Zaini, Ketua Kelompok Kerja Kepala Sekolah (K3S) SD Swasta Kota Surabaya, mengatakan pihaknya sebetulnya menyambut baik keputusan MK itu. Namun dia berharap implementasinya tidak mengesampingkan keberlangsungan hidup sekolah swasta yang selama ini bergantung dari biaya peserta didik.
“Kami sangat senang dengan adanya kepuusan MK itu. Namun demikian kami dari sekolah SD swasta juga mengharapkan bahwa keberadaan sekolah SD swasta tetap akan diberi keberlangsungan untuk kehidupannya,” ujar Ahmad Zaini dalam program Wawasan Suara Surabaya, Senin (2/6/2025).
Dia merinci, dari total 637 SD di Surabaya, sebanyak 352 adalah SD swasta. Ditambah 164 madrasah swasta, total ada sekitar 516 sekolah swasta di Surabaya, baik berbasis pendidikan umum maupun madrasah yang dikelola Kemenag.
Zaini menjelaskan, di Kota Surabaya sebetulnya juga sudah ada program bantuan kepada sekolah swasta, yakni Bantuan Operasional dari Pemerintah Daerah (BOPDA) sejak era Bambang DH Wali Kota Surabaya pada 2009 lalu.
Lewat skema BOPDA inilah, kata Zaini, Pemkot Surabaya membantu membebaskan biaya bagi siswa dari keluarga tidak mampu atau masuk kategori Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR). Namun, menurutnya, skema tersebut belum menjamin semua kebutuhan operasional sekolah bisa ditutup sepenuhnya.
“BOS untuk SD negeri dan swasta itu sama jumlahnya, sekitar 1,1 juta per tahun per anak. Tapi yang swasta itu masih terbebani untuk membayar gaji guru. Yang negeri kan sudah diatasi oleh negara semua. Sehingga untuk operasionalnya itu masih cukup berat bagi swasta jika tidak ada tambahan kepada wali murid,” ungkapnya.
BACA JUGA: Baktiono: Putusan MK Perkuat Kewajiban Negara untuk Biayai Pendidikan, Surabaya Sudah Lebih Dulu Jalankan
BACA JUGA: MK Putuskan Pemerintah Harus Gratiskan Pendidikan Dasar di Sekolah Negeri dan Swasta
BACA JUGA: MK: Sekolah Swasta Boleh Pungut Biaya, Asalkan Sesuai Ketentuan
Selain itu, Zaini juga menyebut tidak semua sekolah swasta menerima bantuan BOPDA. Sekolah-sekolah dengan SPP tinggi, seperti di atas Rp500 ribu sampai Rp1,5 juta per bulan, memilih tidak menerima BOPDA maupun dana BOS Nasional, karena sejak awal memang memiliki model pembiayaan mandiri.
“Mayoritas itu menerima, hanya beberapa, sekitar 20 sekolah yang tadi masuk kategori SPP-nya di atas Rp500 ribu atau Rp 1 juta ke atas itu yang tidak menerima BOPDA. Tapi anggarannya (tidak hilang), dialokasikan ke sekolah lain karena sejak awal memang tidak mengajukan,” jelasnya.
Dia juga menyoroti perbedaan antara sekolah swasta umum dengan sekolah berbasis kekhususan, seperti sekolah keagamaan. Menurutnya, skema bantuan harus bisa membedakan karakteristik masing-masing sekolah agar tidak mematikan kreativitas dan inovasi.
“Saya kira perlu ada pengklasifikasian. Jadi kalau sekolah yang umum mungkin bisa seperti itu. Tetapi kalau sekolah-sekolah yang kehususan, seperti sekolah keagamaan, itu karena memang kegiatan-kegiatannya di luar kurikulum umum, itu mungkin perlu tetap diberi peluang untuk mendapatkan pemasukan dari wali murid,” tuturnya.
Zaini mengungkapkan, komunikasi dengan pemkot melalui dinas pendidikan berjalan cukup aktif dan terbuka. Namun ia berharap skema bantuan juga diperkuat dari pemerintah pusat.
“Kami berharap bahwa dengan adanya keputusan ini, ada tambahan dari pusat, bukan hanya mengharapkan dari daerah. Karena dana BOS yang kita terima itu pun ada alokasi-alokasi penggunaannya. Untuk honorer sekarang dibatasi hanya 40 persen, sisanya untuk kegiatan operasional lain,” ujarnya.
Ketua K3S SD Swasta Surabaya itu juga menyoroti alokasi anggaran pendidikan dari pusat yang menurutnya belum sepenuhnya fokus ke sekolah-sekolah umum.
“Kalau kami membaca, dari 20 persen APBN itu pun, yang dikelola oleh Kemendikbud itu sekitar hanya 400 triliun sekian. Sedangkan yang 300 triliunnya itu tersebar di sekolah-sekolah kedinasan. Jadi alokasi pendidikan 20 persen itu tidak semuanya dipergunakan untuk Kemendikbud. Masih tersebar di mana-mana,” kata Zaini.
Terakhir, ia berharap agar implementasi putusan MK ini jangan sampai menurunkan kualitas pendidikan dan eksistensi sekolah swasta.
“Jadi dengan adanya keputusan ini jangan kemudian menurunkan kualitas pendidikan. Sekolah-sekolah yang memang dianggap sekolah favorit selama ini, keberadaannya saya kira tetap dipertahankan karena mereka tidak menerima anggaran negara,” pungkasnya. (bil/iss)