
Sejumlah keluarga korban Tragedi Kanjuruhan mengaku kecewa terhadap pemberian restitusi atau ganti kerugian kepada korban yang nominalnya jauh dari harapan setelah menanti selama sekitar tiga tahun.
Penyerahan restitusi dengan total nominal Rp670 juta kepada 72 keluarga korban Tragedi Kanjuruhan itu dilakukan oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) di Kota Surabaya, Kamis (28/8/2025).
Restitusi itu diserahkan oleh Achmadi Ketua LPSK dan disaksikan pihak Kejaksaan Negeri Tinggi (Kejati) yang diwakili Rizky Pratama Kasi A Pada Aspidum Kejati Jawa Timur.
“Hari ini LPSK memfasilitasi penyerahan restitusi terhadap 72 orang korban tragedi Kanjuruhan yang terjadi pada tanggal 1 Oktober 2022. Restitusi ini tentu memulai sebuah perjalanan yang cukup panjang dan hari ini Alhamdulillah bisa kita laksanakan bersama,” kata Achmadi di Surabaya.
Penyerahan restitusi ini berdasarkan pada Penetapan restitusi Nomor 1/RES.PID/2025/PT oleh Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Surabaya yang diputus pada 24 Feb 2025 dan diumumkan dalam persidangan pada 3 Maret 2025.
Dalam surat penetapan itu, memuat kewajiban terhadap lima dari enam tersangka yang sudah divinos wajib membayar total Rp670 juta dengan masing-masing dari termohon membayar Rp134 juta.
Untuk diketahui, lima tersangka Tragedi Kanjuruhan yang menjadi termohon restitusi ini antara lain adalah Abdul Haris Ketua Panpel Arema FC, Suko Sutrisno Security Officer.
Kemudian AKP Hasdarmawan Eks Danki 1 Brimob Polda Jatim, AKP Bambang Sidik Achmadi Mantan Kasat Samapta Polres Malang dan Kompol Wahyu Setyo Pranoto Eks Kabag Ops Polres Malang.
Restitusi yang diberikan kepada 72 korban ini rinciannya senilai Rp10 juta untuk korban meninggal dunia yang berjumlah 63 orang dan Rp5 juta untuk korban luka sebanyak 8 orang.
Achmadi menuturkan, selama ini LPSK telah memberi perlindungan kepada korban Tragedi Kanjuruhan dalam bentuk Pemenuhan Hak Prosedural, Perlindungan Fisik, Bantuan Medis dan Rehabilitasi Psikologis serta terakhir Fasilitasi Restitusi.
“Penyerahan restitusi ini bagian dari komitmen LPSK untuk mengawal peristiwa Kanjuruhan dari awal hingga pemulihan korban melalui restitusi,” ungkap Achmadi.
Kekecewaan pada Besaran Restitusi
Sementara itu soal besaran restitusi yang turun dari tuntutan awal Rp200 juta menjadi Rp10 juta per korban, Achmadi menyebut bahwa nominal itu sudah sesuai putusan pengadilan.
“Ya itu keputusan dari pengadilan, yang kita terima. Kita melaksanakan mandat itu. Jadi kewenangan, kita melakukan penilaian, LPSK melakukan fasilitasi penilaian lalu dimasukkan dalam mekanisme seperti itu pada jaksa penuntut umum kemudian putusan terakhir seperti itu,” jelas Achmadi.
Di lain sisi, sejumlah keluarga korban menyampaikan kekecewaan sebab restitusi yang dinanti selama tiga tahun ini masih jauh dari harapan. Salah satunya Rini Hanifah (48 tahun), ibu dari almarhum Agus Riansyah Putra (20 tahun). Wanita asal Pasuruan itu menyebut restitusi ini merupakan pembohongan.
“Kalau menurut saya ini masalah restitusi ini semuanya itu pembohongan semua. Karena tuntutan kita itu bukan Rp250 juta pertama per orang yang meninggal dunia. Tapi waktu kita di sidang, kenapa turun Rp15 juta,” ungkapnya.
“Setelah di sidang lagi banding, seharusnya kalau banding itu malah tambah tinggi. Ini enggak, tambah merosot, Rp10 juta,” sambung Rini meluapkan kekecewaan.
Sebagai informasi, pada Februari 2023, sebanyak 72 keluarga korban meninggal dan luka Tragedi Kanjuruhan, melalui LPSK dan para kuasanya mengajukan restitusi sebesar Rp17,414 miliar. Dengan rinician Rp200 juta-Rp500 juta untuk masing-masing korban.
Kemudian pada 31 Desember 2024, Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Surabaya memutus mengabulkan permohonan restitusi ke pada 71 korban meninggal dan luka Tragedi Kanjuruhan itu.
Akan tetapi nilainya jauh dari tuntutan Rp17,2 miliar, menjadi hanya Rp1,02 miliar. Dengan rincian Rp15 juta untuk korban meninggal, dan Rp10 juta untuk korban luka-luka.
Atas putusan PN Surabaya tersebut para Korban melalui kuasanya mengajukan banding Januari 2025.
Kemudian berdasarkan putusan Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Surabaya Nomor 1/RES.PID/2025/PT pada 24 Feb 2025, nilai restitusi itu kembali menyusut menjadi Rp670 juta dari yang semula Rp1,2 miliar.
Dengan rincian Rp10 juta untuk korban meninggal dunia (63 orang) dan Rp5 juta untuk korban luka (8 orang). Dari putusan banding itu, Rini mengaku menerima uang tersebut bukan karena rela, melainkan terpaksa.
Menurut Rini, uang itu adalah hak dari anaknya, yang dibayar dari uang para terpidana kasus Trgaedi Kanjuruhan. “Sebenarnya kami enggak mau terima. Tapi kalau kami enggak menerima, haknya anak kami kan masih ada,” ujarnya.
Kekecewaan serupa juga diutarakan Sanuar (58 tahun) ayah dari korban almarhumah Eka Priyanti Mei Wulandari (18 tahun). Selain kecewa terhadap restitusi, ia juga berharap supaya proses hukum terhadap para pelaku yang belum bertanggung jawab segera ditegakkan.
“Jangan istilahnya setelah berbuat seperti itu penembakan gas air mata sampai m menimbulkan 135 (korban) tidak bertanggung jawab. Saya minta pertanggungjawabannya semua,” ucap Sanuar.
Keduanya juga menyampaikan bahwa pascatragedi Kanjuruhan sejumlah korban luka-luka sampai sekarang masih mengalami trauma. Mereka meminta supaya korban luka turut mendapat perhatian.
“Jangan memperhatikan yang meninggal saja. Yang luka-luka harus diperhatikan karena sampai sekarang yang luka itu masih trauma,” ungkap Sanuar.(wld/ham)