Kamis, 23 Oktober 2025

Restorasi Grahadi Harus Dilakukan Hati-hati Supaya Nilai Sejarah Tetap Terjaga

Laporan oleh Akira Tandika Paramitaningtyas
Bagikan
Gedung Negara Grahadi terbakar Sabtu (30/8/2025). Bangunan yang terbakar di Grahadi antara lain ruang kerja Wakil Gubernur Jatim, ruang biro rumah tangga, ruang biro umum, serta ruang wartawan kelompok kerja (Pokja). Foto: Risky suarasurabaya.net

Dalam aksi kerusuhan yang terjadi Sabtu (30/8/2025) lalu, Gedung Negara Grahadi menjadi salah satu cagar budaya yang ikut menjadi sasaran pembakaran. Imbasnya, bagian gedung sisi barat habis dilalap api.

Doktor Timoticin Kwanda Dosen Arsitektur Universitas Kristen (UK) Petra merasa ikut prihatin dengan aksi pembakaran cagar budaya tersebut.

Timoticin menjelaskan, Gedung Negara Grahadi merupakan saksi bisu sejarah dalam perkembangan awal Kota Surabaya yang dibangun pada abad ke-18.

“Tidak hanya memancarkan nilai historis yang tinggi, tetapi juga menampilkan estetika unik melalui perpaduan gaya arsitektur neo-klasik (Empire Style) dengan sentuhan arsitektur Jawa,” katanya, dalam keterangan, Rabu (3/9/2025).

Gedung Negara Grahadi, lanjut dia, juga dilindungi secara hukum dalam Permen Pariwisata dan Ekonomi Kreatif SK no. PM.23/PW.007/MKP/2007.

Sehingga, kerusakan yang disengaja terhadap cagar budaya merupakan tindakan kriminal yang memiliki konsekuensi hukum serius.

“Selain Permen Pariwisara dan Ekonomi Kreatif, perlindungan hukum bangunan cagar budaya juga tertuang dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 Pasal 101, yang secara eksplisit menyebutkan pelaku perusakan dapat dikenakan hukuman penjara maksimum 5 tahun atau denda paling banyak Rp1,5 miliar,” jelasnya.

Menurut Timoticin, untuk melakukan restorasi bangunan cagar budaya perlu dilakukan dengan cara yang sangat hati-hati agar tidak menghilangkan nilai sejarah.

“Sebagai bagian dari tindakan konservasi, restorasi perlu dimulai dengan dokumentasi kerusakan bangunan. Berdasarkan dokumentasi itu, kemudian dilakukan perbaikan secara hati-hati,” ungkapnya.

Dia menjelaskan, untuk bagian-bagian gedung yang masih bisa diperbaiki, perlu menggunakan prinsip minimum intervensi guna mempertahankan material yang asli.

“Tapi kalau harus diganti, maka material yang baru harus sesuai dengan zamannya (bukan sama/copy), namun dibuat berbeda agar masyarakat dapat membedakan mana material asli dan yang baru,” tuturnya.

Dosen yang juga ahli dalam bidang konservasi arsitektur itu menegaskan, tragedi pembakaran Gedung Negara Grahadi harus menjadi pengingat bagi semua pihak bahwa pelestarian cagar budaya adalah tanggung jawab bersama.

“Perlindungan hukum yang tegas, edukasi publik yang berkesinambungan, dan proses restorasi yang tepat adalah langkah-langkah yang harus diambil untuk memastikan bahwa warisan sejarah ini tetap utuh bagi generasi mendatang,” tutupnya.(kir/rid)

Berita Terkait

Potret NetterSelengkapnya

Perpaduan Hujan dan Macet di Jalan Ahmad Yani

Kebakaran Gedung Ex-Bioskop Jalan Mayjen Sungkono

Kecelakaan Mobil di Jembatan Suramadu, Kondisinya Ringsek

Kecelakaan Bus Tabrak Belakang Truk di KM 749 Tol Sidoarjo-Waru

Surabaya
Kamis, 23 Oktober 2025
26o
Kurs