
Ribuan jemaah zikir Sewulan melaksanakan ziarah tahunan ke makam Tumenggung Brotonegoro, bupati pertama Ponorogo, di puncak Gunung Nglarangan, Desa Nglarangan, Kecamatan Kauman, Kabupaten Ponorogo, Minggu (13/7/2025).
Ziarah ini menjadi bagian dari rangkaian tradisi menyambut bulan Muharram 1447 Hijriah, sekaligus bentuk penghormatan terhadap leluhur serta penguatan nilai keislaman dan spiritualitas.
Rombongan jemaah berkumpul sejak pukul 06.00 WIB di musala Sewulan, Dagangan, Kabupaten Madiun. Selanjutnya mereka berangkat bersama menuju lokasi ziarah, dikawal oleh Banser dan aparat keamanan setempat.
“Tradisi ini sudah berlangsung puluhan tahun, berasal dari dawuh almarhum KH Makruf Nawawi yang meneruskan pesan ibundanya untuk selalu sowan ke Nglarangan,” kata Gus Afif Nizam, putra KH Makruf Nawawi yang kini memimpin jemaah Sewulan.
Ziarah ke Gunung Nglarangan ini bukan hanya tradisi spiritual, tetapi juga simbol penghormatan terhadap sejarah. Tumenggung Brotonegoro dikenal sebagai tokoh ulama dan pemimpin yang bijak dan rendah hati. Menurut Gus Afif, ziarah ini juga menjadi sarana untuk memperkuat iman, memperbarui niat, serta menyambung silaturahmi antar generasi.
“Ziarah ini bukan hanya soal menyambut kalender baru, tapi tentang memperbarui niat, memperkuat iman, dan menyambung silaturahmi antar generasi,” ujarnya.
Medan pendakian menuju puncak gunung cukup menantang. Para peziarah harus melalui tiga tanjakan terjal dengan kondisi tanah kering dan pepohonan jati meranggas karena musim kemarau.
“Setiap Muharram saya selalu ikut. Jalurnya berat, tapi inilah olahraga rohani sekaligus jasmani,” kata Abdillah, salah satu peziarah.
Meski cukup berat, banyak lansia yang turut serta. Halimah (60), jemaah asal Madiun, mengaku merasa lebih ringan setelah mengikuti ziarah.
“Memang berat kalau di awal naik, setelah turun itu enteng. Alhamdulillah saya sampai puncak,” katanya.
Menurut Gus Afif, ziarah ini juga menyimpan nilai-nilai filosofis dari sosok Adipati Brotonegoro yang dikenal egaliter dan merakyat.
“Eyang Brotonegoro itu sosok yang sangat egaliter, merakyat. Bahkan, beliau memposisikan sejajar dengan pelayannya sendiri, tak jarang menggantikan pelayannya mencari rumput untuk hewan ternak atau kudanya,” tambahnya.
Tradisi yang sudah berlangsung sejak awal 2000-an ini diyakini jemaah sebagai cara meneladani sikap andap ashor (rendah hati) serta melatih kesabaran dalam kehidupan.
Selain berdoa untuk diri sendiri, keluarga, dan lingkungan, ziarah ini juga menjadi ajang menjaga kearifan lokal di tengah arus modernitas. (ham)