
Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset menjadi satu dari 17+8 tuntutan rakyat yang digaungkan selepas gelombang besar demonstrasi di sejumlah daerah di Indonesia pada penghujung Agustus 2025.
RUU ini telah lama masuk daftar prioritas, namun tak kunjung disahkan. Di tengah keresahan publik terhadap korupsi yang masih merajalela, dorongan terhadap pengesahan RUU Perampasan Aset semakin menguat.
Iqbal Felisiano Pakar Hukum Pidana Universitas Airlangga mengatakan, pengesahan RUU Perampasan tergantung DPR RI maupun.
“Karena sebenarnya ini kalau kita tunggu-tunggu sampai sekarang ini sudah 18 tahun. RUU itu tidak kunjung jadi sampai sekarang,” kata Iqbal dalam program Wawasan Radio Suara Surabaya, Rabu (3/9/2025).
“Itu sudah masuk beberapa kali dalam Prolegnas, kan? Tinggal disahkan saja. Malah justru undang-undang lain yang tidak terlalu substansial kemudian yang disahkan, sementara RUU ini (Perampasan Aset) tidak disahkan sampai sekarang. Jadi menurut saya itu political will,” kata Iqbal menambahkan.
Iqbal pun merespons tentang sejumlah kekhawatiran soal RUU Perampasan Aset, seperti perampasan tanpa putusan pidana yang dinilai melanggar HAM, pembalikan beban pembuktian yang bisa memberatkan masyarakat, serta definisi ambang batas aset yang belum jelas.
Menurutnya, kekhawatiran itu perlu diluruskan. Terkait perampasan tanpa putusan pidana, dalam teori hukum itu dikenal sebagai non-conviction based asset forfeiture (NCB). Ini sudah diterapkan di banyak negara dan terbukti efektif.
Prinsipnya, perampasan aset bisa dilakukan meski pelaku kejahatan tidak ditemukan atau tidak hadir di pengadilan, selama ada bukti kuat bahwa aset tersebut berasal dari tindak pidana.
Mengenai pembalikan beban pembuktian, itu bukan hal baru. Bahkan dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi sudah ada mekanisme ini. Artinya, terdakwa diberi kesempatan untuk membuktikan bahwa aset yang dimiliki bukan hasil tindak pidana.
“Jadi saya rasa tidak ada isu-isu yang perlu dikhawatirkan jika RUU ini disahkan,” terangnya.
Dalam mekanisme NCB, menurut Iqbal, aset bisa dianggap sebagai subjek dalam proses hukum, bukan pelakunya. Yang dirampas adalah hasil kejahatan, bukan hak orang secara sewenang-wenang. Proses ini bukan tanpa mekanisme. Jaksa tetap harus membuktikan bahwa aset tersebut memang hasil kejahatan. Sehingga tidak bisa asal rampas.
Iqbal juga mengamini bahwa salah satu semangat dari RUU Perampasan Aset ini adalah agar pelaku kejahatan tidak bisa menikmati hasil kejahatannya. Tidak cukup hanya memenjarakan orang, tapi aset yang didapat dari kejahatan juga harus dikembalikan ke negara.
“Ini untuk efisiensi penegakan hukum, pertama. Kedua, agar pelaku kejahatan tidak bisa menikmati hasil kejahatannya. Ada banyak kejahatan terkait dengan ekonomi dan aset ini, tidak hanya soal korupsi,” tegasnya.
Iqbal kembali menegaskan bahwa RUU Perampasan Aset ini ada di tangan eksekutif dan legislatif. Tapi masyarakat tetap punya peran penting. Menurutnya, masyarakat harus terus mengawal sekaligus menggaungkan pentingnya pengesahan RUU Perampasan Aset ini. Apalagi RUU ini sudah tertunda lebih dari 18 tahun. (saf/ipg)