Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Sumatra Utara menilai bencana besar yang menerjang Sumatra Utara (Sumut), Sumatra Barat (Sumbar), dan Aceh bukan terjadi secara tiba-tiba.
Bencana banjir dan longsor yang per Sabtu (6/12/2025) kemarin menewaskan 914 warga itu, disebut sebagai akumulasi kerusakan lingkungan yang berlangsung lama, dan pangkal masalahnya ada pada cara negara memandang hutan.
Dana Prima Tarigan Ketua Dewan Daerah WALHI Sumatra Utara, dengan tegas mengatakan jika bencana di tiga provinsi itu ada bukti bahwa pemerintah sudah lama menempatkan hutan sekadar sumber keuntungan semata, bukan ekosistem penyangga kehidupan.
“Kita sangat miris sebenarnya. Tapi sekaligus kita mengucapkan selamat ke pemerintah Indonesia karena sudah menjadi juara dua, dengan apa? Ya juara dua laju tercepat penggundulan hutan di dunia. Kita juga ucapkan selamat ke pemerintah Indonesia kita nomor dua juara kita,” ujarnya dalam program Wawasan Suara Surabaya, Senin (8/12/2025).
Menurutnya, political will atau kemauan politik pemerintah berada pada arah yang salah. Kebijakan negara, selama ini lebih berpihak pada ekspansi sawit dan tambang ketimbang menjaga fungsi ekologis hutan.
Bahkan, dia menganggap pemerintah seakan tidak memiliki rencana menjaga hutan. Apalagi, pernyataan Prabowo Subianto Presiden beberapa waktu lalu seolah-olah memperkuat anggapan tersebut.
Kala itu, Kepala Negara menyatakan “tak perlu takut deforestasi untuk menanam sawit. Karena bagaimanapun juga kelapa sawit sama-sama pohonnya”. Bagi WALHI, pernyataan itu mempertegas orientasi ekonomi yang mengabaikan daya dukung lingkungan.
“Hutan tidak dipandang lagi oleh negara kita atau pemerintah kita sebagai paru-paru dunia tapi lebih kepada bisnis. Jadi hitungan hutan itu sudah hitungan bisnis, bahwa kelapa sawit adalah penghasil devisa terbesar. Jadi sebanyak-banyaknya harus diperluas,” ungkapnya.
WALHI menyebut kerusakan terbesar terjadi di tiga provinsi terdampak bencana; yakni di Tapanuli, Sumatra Utara,, Kabupaten Aceh Tamiang, Aceh, serta sejumlah titik kritis di Sumatra Barat.
Dana kembali menegaskan bahwa banjir di tiga provinsi itu bukanlah akibat “curah hujan ekstrem” seperti klaim awal pemerintah.
“Kita enggak bisa lagi menyalahkan hujan yang membuat ini menjadi bencana tidak akan awalnya pemerintah itu sepertinya serentak mengatakan bahwa ini karena curah hujan. Nah, begitu kayu-kayu gelondongan muncul, akhirnya pemerintah baru membuka diri dan mengatakan bahwa iya ini ada kerusakan lingkungan.”
Pada kesempatan itu, ia juga memaparkan temuan WALHI yang menunjukan kerusakan itu bukan disebabkan oleh pembalak liar kecil, melainkan izin-izin legal ber-skala raksasa.
Adapun beberapa temuan yang ia maksud, diantaranya lebih dari 1 juta hektar konsesi untuk industri hutan tanaman, tambang, dan proyek energi panas bumi di Tapanuli; ribuan hektar HGU sawit mengelilingi kawasan Aceh Tamiang, yang membuat hutan tidak lagi mampu menyerap debit air.
Selain itu, ada pula usulan pelepasan kawasan hutan 43.000 hektar untuk konsesi HTI masih terjadi hingga 2021 di Sumatra Barat. Semuanya, menurut Dana berdampak langsung pada terjadinya bencana yang kini menewaskan 900-an warga tersebut.
Bahkan menurut dia, pulau wisata seperti Poncan/Pramuka di Tapanuli juga masuk dalam overlay konsesi. “Kalau di-overlay itu sebetulnya konsesi hutan tanaman industri yang akan dibabat hutan, cukup miris kita,” katanya.
Sementara soal pembalakan liar ilegal yang terjadi secara besar-besaran di hutan, menurutnya hal itu belum tentu benar. Dana menegaskan bahwa pelaku utama kerusakan dan dalang di balik pembalakan itu justru adalah pemerintah dan korporasi.
“Dua yang biang keroknya itu adalah pemerintah itu sendiri yang memberikan izin… dan pengusaha-pengusaha yang kongkalikong dengan pemerintah,” tegasnya.
Namun, ironinya adalah ketika bencana terjadi, pemerintah justru menyudutkan faktor cuaca atau menyalahkan pembalak liar kecil. Padahal akar persoalan ada pada izin industri yang luas.
“Ramai-ramai sekarang pejabatnya pada cuci tangan, padahal praktik seperti inilah yang menyebabkan wilayah-wilayah yang sekarang terdampak luar biasa,” bebernya.
Karena itu, menghadapi hal ini, ia berharap publik terus bersuara, karena menurutnya tekanan publik sudah mulai terlihat. “Masyarakat sudah mulai marah dan cerdas saat ini. Semua statement pemerintah dibantah oleh masyarakat,” pungkasnya. (bil/iss)
NOW ON AIR SSFM 100
