Senin, 8 Desember 2025

WALHI Tantang Pemerintah Moratorium Izin dan Bongkar Kongkalikong Perusak Hutan di Sumatra

Laporan oleh Billy Patoppoi
Bagikan
Warga berjalan melintasi sungai dengan jembatan darurat di Desa Aek Garoga, Kecamatan Batang Toru, Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatra Utara, Sabtu (29/11/2025). Foto: Antara

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Sumatra Utara menantang pemerintah untuk mengambil dalam menghentikan kerusakan hutan yang menjadi biang bencana besar di Sumatra, salah satunya lewat moratorium izin di sektor kehutanan.

Dana Prima Tarigan Ketua Dewan Daerah WALHI Sumatra Utara mengatakan harus ada keberanian untuk menindak praktik kongkalikong antara pengusaha dan pejabat yang dinilai menjadi satu-satunya jalan agar bencana serupa tidak berulang.

Dia menyatakan kehancuran ekologis di Tapanuli, Aceh Tamiang, dan sebagian Sumatra Barat bukan terjadi secara alamiah, melainkan hasil dari “kerja sama jahat” antara korporasi dan pemerintah selama bertahun-tahun.

Bahkan, dalam program Wawasan Suara Surabaya, Senin (8/12/2025), ia dengan tegas menyebut pemerintah sebagai salah satu aktor utama kerusakan hutan.

“Pelaku kerusakan lingkungan dan penyebab bencana ini adalah pemerintah itu sendiri yang memberikan izin, dan pengusaha-pengusaha nakal yang bekerja sama dengan pemerintah,” ujar Dana yang juga Anggota Tim WALHI Nasional.

Menurut Dana, praktik ini bukan sekadar pembalakan liar seperti yang ramai disebut belakangan. Kerusakan besar justru datang dari korporasi besar yang diberi izin legal, tetapi kemudian mengekspansi hutan melebihi batas konsesi yang diberikan.

“Ada izin 10.000, tapi dia membuka 15.000. Itu 5.000 loh. Ini berani enggak ditindak?” ujarnya.

Ia menegaskan pembalakan liar oleh individu yang selama ini dituduh sebagai penyebab utama hanyalah “pengalihan isu” belaka. Menurutnya jika sifat pembalakan itu pribadi, maka dampaknya tidak akan sebesar seperti bencana yang terjadi sekarang. Tapi, beda lagi jika izin yang diberikan mencakup jutaan hektar lahan.

Karena itulah, WALHI menilai pemerintah tak punya pilihan selain menghentikan sementara seluruh penerbitan izin baru dan membuka ulang seluruh izin lama secara transparan untuk menghadapi dampak kerusakan masif itu.

“Review izin-izin itu. Izin barunya jangan ada keluar dulu, di-review semua izin-izin yang ada,” ungkapnya.

Dana menyebut langkah ini sebagai syarat mutlak. Tanpa moratorium, kerusakan hutan akan terus meluas, terutama karena celah regulasi di UU Cipta Kerja yang menurutnya bisa dicari celahnya untuk memperlonggar hukuman bagi pelaku pembalakan di luar konsesi.

Ia bahkan memperingatkan bahwa bencana serupa di tiga provinsi Sumatra, yakni Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat bukan yang terakhir jika pemerintah tidak berani mengambil tindakan tegas.

Dana memaparkan bagaimana kolaborasi pejabat dan pengusaha menjadi salah satu faktor paling mematikan dalam kerusakan hutan.

Menurutnya, pembalak liar versi pemerintah yang disebut sebagai Penguasaan Hak Atas Tanah (PHAT)  hanyalah pemain kecil. Yang jauh lebih buruh adalah perusahaan-perusahaan bertitel legal, yang justru menghancurkan hutan dalam skala besar.

Bahkan, ia menyebut keberadaan perusahaan konsesi yang jumlahnya tidak pernah dibuka ke publik sebagai bentuk adanya tarik-menarik kepentingan.

“Kementerian Kehutanan enggak berani membuka 10 perusahaan yang mereka sudah identifikasi. Mungkin ada tarik menarik politik. Ada hubungan dengan kekuasaan atau partai politik, mereka takut,” sebutnya.

Ia juga menyebut banyak lahan izin berada di wilayah yang secara kontur seharusnya sama sekali tidak boleh dibuka. “Pemerintah memberikan izin bahkan di lokasi yang tidak seharusny, konturnya terlalu curam.”

Karenanya, WALHI menegaskan bahwa pemerintah harus menindak tegas perusahaan yang melakukan pelanggaran konsesi, termasuk melalui perampasan aset, bukan hanya denda administratif yang diwajibkan dalam UU Cipta Kerja.

“Perusahaan-perusahaan itu diminta pertanggungjawaban untuk memulihkan lingkungannya, harus dilakukan perampasan asetnya kalau berani,” jelasnya.

Baginya, memulihkan lingkungan juga tidak boleh terus membebani APBN. Terutama, karena pelaku kerusakan selama ini mendapatkan keuntungan besar dari eksploitasi hutan.

Meski demikian, saat ditanya soal apakah pemerintah saat ini cukup berani mengambil langkah-langkah tersebut, Dana justru mengaku pesimis.

“Melihat perkataan Pak Prabowo (menyatakan) bahwa biarkan saja deforestasi itu dan kita tanam sawit lagi. Saya sebetulnya sangat pesimis melihat pemerintah sekarang,” ungkapnya.

Namun dia mengatakan WALHI tetap melihat harapan bisa muncul dari tekanan publik. “Masyarakat sudah mulai marah dan cerdas, pemerintah harus tahu itu.”

Bagi WALHI, inti persoalan bukan lagi teknis melainkan keberanian politik. Pemerintah harus memutus mata rantai kongkalikong yang sudah berlangsung lama.

Moratorium izin dan penindakan tegas dianggap sebagai kunci agar hutan tidak hanya Sumatra bisa kembali seperti seharusnya. “Saatnya melakukan penindakan hukum, dilakukan secara transparan. Karena kalau tidak dilakukan, akan banyak bencana baru. pungkasnya. (bil/iss)

Berita Terkait

Potret NetterSelengkapnya

Perpaduan Macet dan Banjir di Kawasan Banyuurip-Simo

Banjir Menggenangi Sidosermo 4

Kecelakaan Bus Vs Truk Gandeng di Jembatan Suramadu

Perpaduan Hujan dan Macet di Jalan Ahmad Yani

Surabaya
Senin, 8 Desember 2025
32o
Kurs