
Juliyatmono Anggota Komisi X DPR RI Fraksi Golkar mengusulkan agar lulusan sekolah kedinasan harus mengikuti tes seleksi Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS).
Menurutnya, sistem yang berlaku sekarang ini dirasa kurang adil bagi peserta CPNS lainnya.
“Mereka sekolah mendapat pembiayaan penuh dari negara dan begitu lulus langsung punya jalur khusus masuk ke instansi pemerintah. Padahal, masyarakat umum yang lulusan universitas lain harus bersaing lewat seleksi terbuka,” katanya.
Dia juga menyoroti, soal rasa eksklusif yang muncul dari lulusan sekolah kedinasan karena sering merasa “lebih unggul” dari peserta umum.
Karena selain seleksi CPNS, Juliyanto juga mengusulkan agar ke depan biaya pendidikan di sekolah kedinasan tidak sepenuhnya gratis.
“Mahasiswa bisa ikut membiayai pendidikannya, seperti di perguruan tinggi lainnya,” tambahnya.
Meski begitu, usulan ini masih dalam tahap awal dan akan dibahas lebih jauh di DPR, terutama dalam proses revisi Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, dengan tujuan untuk menciptakan sistem pendidikan dan rekrutmen pegawai negeri yang lebih adil, transparan, dan setara bagi semua warga negara.
Apakah masyarakat setuju atau tidak dengan adanya tes CPNS bagi lulusan sekolah kedinasan?
Dalam diskusi di program Wawasan Polling Suara Surabaya, Kamis (10/7/2025) pagi, masyarakat cenderung setuju dengan pemberlakuan tes CPNS bagi lulusan sekolah kedinasan.
Dari data Gatekeeper Radio Suara Surabaya, 59 pendengar setuju dengan pemberlakuan tes CPNS bagi lulusan sekolah kedinasan. Kemudian 51 pendengar memilih tidak setuju.
Kemudian, berdasar data di Instagram @suarasurabayamedia, sebanyak 79 persen atau 429 orang setuju dengan pemberlakuan tes CPNS bagi lulusan sekolah kedinasan. Kemudian 21 persen atau 117 peserta memilih tidak setuju.
Mengenai pemberlakuan tes CPNS bagi lulusan sekolah kedinasan seperti usulan Komisi X DPR RI, Dhia Al Uyun Dosen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang menjelaskan, ada beberapa perspektif yang harus dilihat terkait pemberlakuan tes CPNS bagi sekolah kedinasan.
“Dari segi efektivitas dan efisien, sekolah kedinasan sebenarnya adalah pendidikan dasar dari PNS,” katanya saat onair di Radio Suara Surabaya.
Dhia melanjutkan, ada sisi lain yang juga perlu dipertimbangkan saat pemerintah memilih lulusan sekolah kedinasan bisa langsung menjadi PNS.
Perempuan yang juga Ketua Serikat Pekerja Kampus itu meyebutkan, kerap menemukan case di mana para lulusan sekolah kedinasan biasanya cenderung menutup kesempatan untuk menyampaikan pendapat, perbedaan pendapat, dan memoles itu dalam doktrin yang muncul dalam ikatan kedinasan.
“Menurut saya, ini yang perlu dibongkar,” tuturnya.
Dhia mengaku setuju dengan usulan pemberlakuan tes seleksi CPNS untuk lulusan sekolah kedinasan. Hal itu karena pemerintah harus menghadirkan peluang yang sama bagi masyarakat lainnya.
Dhia juga beranggapan, ketika posisi PNS dimonopoli oleh sekolah kedinasan, seringkali menjadi suatu problem tersendiri seperti, keputusan yang dia tidak terbuka, kemudian ada kebenaran-kebenaran yang seringkali dianggap sebagai hal yang paling benar.
Sementara berdasarkan data, porsi formasi CPNS untuk sekolah kedinasan hanya 1-2 persen saja, berbanding dengan peluang masuk masyarakat umum yaitu, 97 persen.
Menurut Dhia, angka ini tidak bisa menjadi acuan. Karena berdasar tulisan Conversation, hampir tidak mungkin orang masuk ke dalam lingkungan kementerian dan sebagainya kalau tidak ada sokongan dari orang dalam.
“Meskipun tidak semua ordal berasal dari sekolah kedinasan, tapi pada rezim sebelumnya komposisi yang berasal dari ikatan kedinasan itu cukup besar. Jadi kalau sekarang bisa melepas konektivitas antara satu orang dengan yang lain, sama dengan menekan pembentukan kolusi,” tandasnya.(kir/ipg)