Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA menyatakan ada tiga golongan masyarakat yang mendukung poros koalisi partai politik menjelang Pilpres 2024, berdasarkan hasil survei.
Masing-masing yang puas dengan kinerja Joko Widodo yang menjadi Presiden dua periode, pemilih yang moderat, dan pemilih yang kurang puas terhadap kinerja Jokowi.
Poros PDI Perjuangan menguasai segmen pemilih yang puas terhadap pemerintahan Jokowi. Poros Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) menguasai segmen pemilih moderat. Sedangkan Gerindra-PKB menguasai segmen pemilih yang kurang puas.
Ardian Sopa Peneliti LSI mengungkapkan pemilih moderat merasa nyaman di berada di tengah.
“Ketika ternyata masyarakat di 2024 banyak merasa nyaman di tengah, kemungkinan yang mendapat keuntungan politik adalah KIB,” ucapnya di Jakarta, Selasa (16/8/2022).
Berdasarkan survei LSI, lanjut Ardian, ada tiga poros yang telah terbentuk yaitu PDI Perjuangan, KIB dan Gerindra-PKB. Poros PDIP tentu melekat dengan legasi Presiden Jokowi, sementara Gerindra-PKB masih terbawa warisan Pemilu 2019, massanya tidak menyukai Jokowi. Sedangkan pemilih yang moderat, nantinya akan merapat ke KIB.
“Ternyata yang menarik, yang moderat lebih banyak ke KIB karena Golkar tidak identik kuat dengan Pak Jokowi karena ada PDIP, dan tidak identik kuat sebagai oposisi karena masuk di pemerintahan,” jelas Ardian.
Pola itu menurut dia, bisa terus berlanjut pada peta pemilih di Pemilu 2024. Tiga poros yang disebutkan tadi telah memenuhi syarat presidential threshold.
Sementara, masih ada tiga partai yang belum menentukan koalisinya, yaitu Partai Demokrat, Partai Keadilan Sejahtera (PKS), dan Partai NasDem. Langkah mereka begitu krusial untuk mengubah peta poros pada Pemilu 2024.
Dalam survei LSI juga disebutkan, kalau KIB berhasil menggaet satu Parpol lagi, hampir pasti pasti ada tiga pasang calon yang berlaga di Pemilu 2024.
“Jika KIB berhasil menambah satu anggota, jadinya akan tidak cukup lagi. Ini perburuan di akhir jangan sampai ada yang ketinggalan kereta,” jelas Ardian.
Dalam survei yang sama, disebutkan sejumlah elite partai seperti Airlangga Hartarto Ketua Umum Partai Golkar, Puan Maharani Ketua DPP PDIP masih perlu mengejar elektabilitasnya.
Sejauh ini, LSI hanya meletakkan figur Airlangga dan Puan pada posisi calon wakil presiden.
“Mereka masih bisa mengoptimalkan potensinya. Mungkin sekarang masih disebut menjadi cawapres karena angka (elektabilitas) masih kecil. Tapi, begitu Juni 2023 mereka sudah menjadi calon yang kuat, tidak menutup kemungkinan mereka jadi capres yang potensial,” tegas Ardian.
Sementara itu, Arya Fernandes Kepala Departemen Politik dan Perubahan Sosial Center for Strategic International Studies (CSIS) mengungkapkan, latar kepuasan terhadap pemerintahan Jokowi-Ma’ruf Amin tidak akan banyak berperan dalam Pilpres 2024.
Karena, Jokowi tidak bisa ikut berkompetisi lagi sebagai petahana.
“Saya kira faktor kepuasan dan ketidakpuasan mungkin ada pengaruhnya pada perolehan partai tertentu. Tapi, menurut saya faktor determinan suara partai bukan soal puas atau tidak pada pemerintahan,” ujar Arya.
Menurutnya, ada beberapa faktor penentu dalam perolehan suara partai pada Pemilu 2024. Pertama, kandidat yang diusung dalam Pemilu Legislatif (Pileg 2024). Kekuatan sosok kandidat masih menjadi acuan utama publik untuk menjatuhkan pilihan ke partai tertentu.
“Faktor utama naik-turun suara partai itu adalah, pertama, siapa kandidat yang akan mereka calonkan di DPR RI, DPRD. Tetap faktor kandidat yang diusung,” katanya.
Kemudian, ada faktor narasi program yang ditawarkan partai politik. Terakhir adalah sosok yang didukung dalam Pilpres 2024.
Ketiga faktor itu masih berada pada kategori penentu dalam memotret perolehan suara partai politik.
“Faktor determinannya tiga itu. Faktor kepuasan mungkin iya. Tapi, ketika petahana tidak ada, maka faktor kepuasan publik, menurut saya, tidak terlalu besar pengaruhnya,” tegasnya.
Dia menambahkan, pembentukan koalisi di antara partai yang akan berlaga di Pemilu 2024 memang sudah mengerucut menjadi beberapa poros.
Tapi, hal itu masih menyisakan kerentanan. Peta koalisi masih bisa berubah hingga pasangan calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) resmi terdaftar di Komisi Pemilihan Umum (KPU).
“Kerentanan itu untuk terbelah, bubar, atau gagal. Mengapa ada kerentanan? Karena pendaftaran capres masih September tahun depan. Sehingga kemungkinan-kemungkinan untuk partai mengalihkan dukungan masih terbuka,” tambahnya.
Selain itu, kerentanan koalisi juga dipengaruhi tren peluang kandidat calon presiden. Selanjutnya, juga dipengaruhi oleh negosiasi para king maker politik.
“Jadi, untuk koalisi memang sudah mengerucut. Pilihan-pilihannya terbatas, tapi di internal dan eksternal ada kerentanan. Perubahan itu bisa terjadi kalau deadlock saat menentukan siapa capres, siapa cawapres,” tandasnya.(rid)