Rocky Gerung pengamat politik menyebut koalisi seharusnya mendikte keadaan, bukan keadaan yang mendikte koalisi.
Maksudnya, kata Rocky, saat ini koalisi partai malah mengikuti arus pergerakan politik, bukan koalisi yang menentukan apa keputusan yang harus diambil secara mandiri.
“Jadi apa yang kita sebut koalisi sebetulnya hanyalah upaya untuk saling mengintip, saling mengintai, kan itu dasarnya,” ujar Rocky dalam diskusi daring bertajuk ‘Menakar Peluang Capres & Format Koalisi Parpol 2024, Rabu (3/5/2023) sore.
Ia menyebut, koalisi partai politik saat ini terlihat plin-plan. Apalagi saat Joko Widodo (Jokowi) Presiden bermain dengan endorse tokoh bakal calon presiden dengan asal koalisi yang berbeda-beda.
“Jadi dari awal koalisi ini adalah barang busuk di dalam demokrasi di Indonesia, di tempat lain itu nggak ada,” katanya.
Menurut Rocky, di negara lain, koalisi partai politik akan menuntun secara koheren dan konsisten tokoh politik yang diusung mereka untuk maju dalam pencalonan.
Sedangkan di Indonesia, lanjut Rocky, keputusan yang dihasilkan dari koalisi malah menunggu sinyal dari seseorang yang bukan anggota koalisi.
“Kalau saya tanya, Pak Jokowi anggota koalisi mana, KIB? Oh iya, tapi dia endorse juga yang bukan anggota koalisi KIB,” ujar Rocky yang juga pengamat filsafat ini.
Namun, Rocky memaafkan Jokowi karena tidak memahami dasar dari ide demokrasi, padahal Jokowi sebelumnya dipilih secara demokratis oleh rakyat dalam dua pemilu lalu.
“Pak Jokowi memang tidak paham dasar dari ide demokrasi itu. Kalau tahu, ya ngapain kita nunggu lagi Jokowi, yang katanya mampu menjadikan demokrasi. Pak Jokowi dipilih secara demokratis, tapi dia sendiri tidak paham atas pilihannya,” tegasnya.(faz/ipg)