Sabtu, 6 September 2025

Blusukan Masih Relevan di Era Digital, Berikut Penjelasn Pakar Ilmu Komunikasi

Laporan oleh Muhammad Syafaruddin
Bagikan
Prof. Rachmat Kriyantono pakar ilmu komunikasi sekaligus Guru Besar Ilmu Hubungan Masyarakat Universitas Brawijaya. Foto: Istimewa

Blusukan dinilai tak hanya menggambarkan interaksi pemimpin dengan masyarakat secara langsung, tetapi juga mencerminkan karakter budaya komunikasi yang khas Indonesia.

Prof. Rachmat Kriyantono, pakar ilmu komunikasi dari Universitas Brawijaya menjelaskan, praktik blusukan mencerminkan pola komunikasi yang lebih berbasis pada tatap muka dan interaksi langsung.

Praktik ini disebut sangat dipengaruhi oleh karakter budaya Indonesia yang lebih bersifat time binding, di mana komunikasi lebih sering terjadi dalam bentuk percakapan tatap muka yang lebih intim dan emosional.

Blusukan menjadi cara yang efektif untuk membangun kedekatan emosional antara pemimpin dan rakyat, yang sangat mudah terpengaruh oleh pesan-pesan emosional.

“Makanya, orang Jawa ditanya pripun kabare?, menjawab pangestunipun. (Jadi) orang lain dianggap ikut mendoakan kesuksesan kita,” jelas penulis buku “Komunikasi Perspektif Indonesia” tersebut.

Prof. Rachmat menjelaskan, blusukan memiliki kekuatan besar dalam membangun persepsi positif tentang seorang kandidat atau pemimpin. Sebab blusukan menyentuh irasionalitas dan emosionalitas masyarakat, yang mana bisa menciptakan citra pemimpin yang dekat dengan rakyat.

“Namun, jika tidak disertai bukti nyata, atau hanya omong tok, maka blusukan bisa memudahkan publik mencaci bahkan kekerasan verbal dan fisik secara langsung. Masyarakat kita mudah dipersuasi pesan emosional dan mudah tersulut emosinya karena masih berkarakter irasional,” katanya menambahkan.

Ketika blusukan dikaitkan dengan strategi pencitraan, Prof. Rachmat menjelaskan bahwa pencitraan itu keniscayaan karena proses communicating youself atau self branding. “Tanpa pencitraan maka nobody knows you, yang membuat social awareness atau level elektoral rendah,” jelasnya.

Namun, yang perlu diperhatikan adalah apakah pencitraan itu disertai dengan bukti nyata atau tidak. Ia menegaskan bahwa pencitraan menjadi masalah ketika hanya berupa janji-janji kosong, tanpa adanya bukti yang mendukung.

“Jika tanpa data, bukti, atau sekadar omon-omon saja, maka publik bisa mempersepsi sebagai pembohong,” tegas alumnus Edith Cowan University di Australia Barat itu.

Masalahnya, lanjut Prof. Rachmat, standar “kebohongan” bagi rakyat tidak sama dengan partai politik (parpol). Atau, karena irasional dan emosional, meski dibohongi, rakyat masih “memaafkan” karena diberikan macam-macam, misal sembako, atau yang diperlukan untuk kebutuhan hidup. Sehingga menjadi transaksi politik jangka pendek.

“Tapi, ke depan, penetrasi internet seperti media online yang tinggi dan merata, bisa membuat time binding bercampur space binding, yakni informasi global mudah akses, membuka kesadaran informasi, dan rasionalitas berkembang maka ditambah ekonomi yang meningkat, membuat politisi lebih sulit mengandalkan pesan irasionalitas,” terang Guru Besar Ilmu Hubungan Masyarakat Universias Brawijaya itu.

Di era digital dan media sosial, banyak yang bertanya apakah blusukan masih relevan? Prof. Rachmat berpendapat bahwa meskipun dunia semakin digital, konsep blusukan tetap bisa dipertahankan dengan mengadaptasi cara-cara baru dalam berinteraksi dengan masyarakat.

“Komunikasi bisa mudah efektif jika menggunakan berbagai saluran komunikasi yang tersedia dengan menyesuaikan karakter audience. Jadi blusukan digital bisa dilakukan untuk ‘menembak’ diversifikasi sasaran anak muda. Dengan tetap menjaga interaksi tatap muka dengan mereka supaya interaksi kultural tetap terjaga,” sebut Prof. Rachmat.

Lantas, apakah model komunikasi politik berbasis blusukan ini bisa diduplikasi di negara lain dengan konteks budaya yang berbeda? Menurut Prof. Rachmat, mengadaptasi praktik blusukan di negara lain yang memiliki budaya lebih individualistis seperti Amerika Serikat, Australia, atau Inggris bisa jadi tantangan.

Ia menjelaskan bahwa di negara-negara tersebut, komunikasi politik lebih formal dan rasional, dengan forum-forum resmi sebagai sarana utama untuk berdialog.

Namun, ia mengungkapkan bahwa ada konsep serupa di dunia Barat yang dikenal dengan Managing by Walking Around (MBWA). “Konsep ini seperti atau mirip dengan blusukan. Tapi sangat berbedaMBWA terjadi dalam level formalitas tertentu, dan dialogisnya tidak mengandung unsur sambung roso personal seperti blusukan,” sebutnya. (saf/faz)

Berita Terkait

Potret NetterSelengkapnya

Kebakaran Gedung Ex-Bioskop Jalan Mayjen Sungkono

Kecelakaan Mobil di Jembatan Suramadu, Kondisinya Ringsek

Kecelakaan Bus Tabrak Belakang Truk di KM 749 Tol Sidoarjo-Waru

Pajero Masuk Sungai Menur Pumpungan

Surabaya
Sabtu, 6 September 2025
28o
Kurs