
Toton Rasyid Direktur Hukum Badan Narkotika Nasional (BNN) menekankan pentingnya percepatan revisi Undang-Undang Narkotika seiring diberlakukannya KUHP dan KUHAP baru. Ia menyampaikan hal tersebut dalam Forum Legislasi di gedung Nusantara I Kompleks Parlemen Senayan Jakarta, Selasa (15/7/2025).
Menurut Toton, revisi diperlukan agar peran penyidik BNN tetap memiliki posisi yang kuat dan tidak terpinggirkan secara hukum dalam menangani tindak pidana narkotika. Dalam KUHAP terbaru, hanya penyidik dari Kejaksaan dan KPK yang secara eksplisit disebut sebagai “penyidik tertentu dengan pengecualian”, sementara penyidik BNN tidak termasuk dalam kategori tersebut.
“Jika UU ini disahkan dalam bentuk draft sekarang, maka penyidik BNN akan berada di bawah level penyidik kelas pendidikan. Artinya, BNN harus berkoordinasi dengan penyidik Polri dalam penetapan tersangka dan penyampaian berkas perkara. Di sinilah letak persoalan keadilan,” kata Toton.
Toton juga menyinggung bahwa di tengah kompleksitas kejahatan narkotika, negara harus memberikan kewenangan yang sepadan kepada lembaga yang menangani kasus tersebut secara khusus.
Ia menegaskan bahwa BNN tidak hanya fokus pada penindakan represif, tetapi juga pada pendekatan humanis terhadap penyalahguna narkoba.
“Ada tiga pilar moral standing dari Kepala BNN. Pertama, memandang kejahatan narkoba sebagai ancaman peradaban dan kemanusiaan. Kedua, represif terhadap bandar dan jaringan. Ketiga, humanis terhadap penyalahguna melalui rehabilitasi,” jelasnya.
Lebih lanjut, Toton memaparkan data terbaru tentang prevalensi penyalahgunaan narkotika di Indonesia. Berdasarkan survei tahun 2023, terdapat 3,3 juta pengguna, dengan 300 ribu di antaranya merupakan anak-anak dan remaja yang dinilai sebagai bagian dari generasi emas 2045.
BNN juga telah memetakan 9.270 kawasan rawan narkoba di seluruh Indonesia, yang terdiri dari 457 kawasan bahaya dan 8.813 kawasan waspada. Wilayah pesisir di Sumatra dan Kalimantan disebut sebagai jalur masuk utama narkoba dari luar negeri.
“Sebagian besar narkoba masuk melalui laut dan perbatasan. Jaringan internasional berasal dari berbagai negara seperti Malaysia, Myanmar, China, hingga Brasil dan Belanda,” ungkapnya.
Toton juga menyoroti situasi global, termasuk legalisasi ganja di 15 negara dan perubahan status kartel narkoba menjadi organisasi teroris oleh Donald Trump Presiden AS.
“Angka prevalensi global mencapai 5,8 persen atau sekitar 296 juta pengguna narkotika. Ini bukan hanya persoalan lokal, tapi juga persoalan global,” tegasnya.
Toton menegaskan bahwa Indonesia membutuhkan strategi nasional yang kuat dalam menghadapi ancaman narkoba, mengingat potensi pasar yang besar dan wilayah geografis yang terbuka.
“Nilai narkoba sangat menggiurkan. Perkiraan kebutuhan tahunan mencapai 155 ton ganja, 38 ton sabu, dan 15 juta butir ekstasi. Sebagian besar berasal dari luar negeri,” pungkas Toton. (faz/ipg)