Selasa, 9 Desember 2025

Febri Diansyah: Korupsi Ekologis di Balik Bencana Sumatra, Norma ‘Karet’ Jadi Celah Kekuasaan

Laporan oleh Muchlis Fadjarudin
Bagikan
Febri Diansyah praktisi hukum yang juga mantan juru bicara KPK. Foto: Faiz Fadjarudin suarasurabaya.net

Febri Diansyah praktisi hukum dan mantan Juru Bicara KPK menegaskan bahwa korupsi masih mengakar kuat dalam sistem politik Indonesia dan kini menunjukkan dampak paling ekstremnya melalui bencana ekologis, seperti yang terjadi di Sumatra.

Berbicara dalam Seminar Nasional Refleksi Hari Antikorupsi Sedunia di Sekolah Partai PDIP, Jakarta, Selasa (9/12/2025), Febri menyampaikan bahwa rangkaian bencana yang terjadi bukan sekadar kejadian alam, melainkan hasil dari praktik korupsi yang melibatkan proses perizinan di sektor kehutanan, pertambangan, dan perkebunan.

“Kita belum berada di titik selamat dari perilaku koruptif. Apa yang terjadi di Sumatra hari ini adalah gambaran lengkap betapa korupsi di sektor lingkungan telah berlangsung lama,” ujarnya.

Febri memaparkan data yang menunjukkan betapa seriusnya masalah korupsi politik. Sejak 2004 hingga Oktober 2025, terdapat 565 perkara yang melibatkan anggota legislatif dan kepala daerah, mayoritas terkait praktik suap untuk penerbitan izin.

Ia menilai kombinasi kekuasaan politik dan birokrasi dalam pemberian izin inilah yang membuka ruang kerusakan ekologis berskala besar.

Ia mencontohkan salah satu kasus, di mana nilai suap hanya sekitar Rp1,5 miliar, tetapi kerugian ekologis akibat hilangnya tegakan pohon di kawasan tersebut mencapai ratusan miliar rupiah.

“Jadi bukan sekadar penebangan kayu, tetapi transaksi izin yang merusak lingkungan dan menguntungkan pihak tertentu,” kata Febri.

Menurutnya, praktik suap perizinan selama ini juga berfungsi sebagai sumber pendanaan politik, sehingga siklus korupsi terus berulang dan sulit diputus.

Dalam paparannya, Febri menyoroti persoalan mendasar dalam penegakan hukum, yaitu keberadaan norma hukum yang abstrak atau ‘karet’, yang membuka peluang penyalahgunaan kewenangan.

Ia menyebut norma yang tidak jelas dapat berubah menjadi alat bagi kelompok berkuasa untuk menekan pihak tertentu, alih-alih menyelesaikan persoalan struktural korupsi.

“Jika diskresi terlalu besar, korupsi bisa digunakan sebagai alat politik. Ini bukan hanya melemahkan pemberantasan korupsi, tapi juga mengancam demokrasi,” tegasnya.

Febri menegaskan bahwa pemberantasan korupsi tidak boleh hanya berhenti pada penangkapan individu karena persoalannya bersifat institusional.

Ia mengingatkan bahwa tujuan sebenarnya dari pemberantasan korupsi adalah menciptakan keadilan sosial, bukan sekadar mengejar angka penindakan.

Ia menilai bencana di Sumatra saat ini memperlihatkan bahwa kekuatan bisnis mendapatkan keuntungan besar dari izin-izin perkebunan dan tambang, sementara masyarakat sekitar justru menjadi korban lingkungan yang rusak.

Sebagai langkah perbaikan, Febri mendorong komitmen nyata dari pimpinan negara, penghentian penyusunan regulasi yang berpotensi multitafsir, serta fokus penanganan korupsi yang mempertimbangkan dampaknya terhadap masyarakat dan lingkungan hidup.

“Menjaga sumber daya alam adalah keharusan. Kasus di Sumatra seharusnya menjadi pengingat keras bagi kita semua,” pungkasnya.(faz/ipg)

Berita Terkait

Potret NetterSelengkapnya

Perpaduan Macet dan Banjir di Kawasan Banyuurip-Simo

Banjir Menggenangi Sidosermo 4

Kecelakaan Bus Vs Truk Gandeng di Jembatan Suramadu

Perpaduan Hujan dan Macet di Jalan Ahmad Yani

Surabaya
Selasa, 9 Desember 2025
25o
Kurs