
Hikmahanto Juwana, pengamat hubungan internasional, menyampaikan keprihatinannya terhadap potensi konflik global, termasuk memanasnya hubungan antara India dan Pakistan.
Ia menegaskan, saat ini dunia tidak membutuhkan perang, terlebih yang melibatkan negara pemilik senjata nuklir.
“Dunia saat sekarang ini sedang tidak butuh lagi perang. Apalagi konflik yang belum terselesaikan seperti di Eropa antara Rusia dan Ukraina, serta Gaza yang kian memprihatinkan,” ujar Hikmahanto dalam Dialektika Demokrasi di gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Jumat (16/5/2025).
Menurutnya, tindakan Israel yang makin represif terhadap Gaza dengan memblokir bantuan kemanusiaan, hingga anak-anak mengalami kelaparan, menjadi sorotan global. Bahkan Donald Trump Presiden AS pun bersuara, meminta akses kemanusiaan dibuka untuk Gaza.
Lebih lanjut, Hikmahanto menilai potensi terjadinya konflik bersenjata antara India dan Pakistan harus disikapi dengan bijak oleh dunia internasional, termasuk Indonesia.
Ia melihat sosok Prabowo Subianto Presiden memiliki peluang besar untuk berperan sebagai mediator perdamaian.
“Pak Prabowo punya modal diplomatik yang kuat. Relasinya baik dengan pemimpin dunia, seperti Perdana Menteri India dan Australia. Ini potensi besar untuk jadi juru damai,” jelasnya.
Tak hanya itu, ia juga menyinggung pentingnya kesiapan Indonesia dalam menghadapi skenario terburuk jika perang terjadi.
Ia menyarankan agar industri pertahanan dalam negeri diperkuat, tidak hanya mengandalkan pembelian alutsista dari luar.
“Jangan sampai kita hanya beli, tapi tidak dimodifikasi. Kita perlu buat versi Indonesia-nya yang lebih canggih, seperti yang dilakukan Israel,” tambah Hikmahanto.
Ia mencontohkan Jepang yang membeli alutsista dari negara lain, namun tak memodifikasi, sehingga menjadi kurang kompetitif.
Sebaliknya, Israel justru memutakhirkan teknologi militer mereka hingga bisa dijual kembali ke negara lain.
Selain aspek pertahanan, Hikmahanto juga mengingatkan dampak konflik terhadap pasar keuangan dan ekonomi global.
“Pasar modal bisa jatuh karena konflik. Itu terjadi saat ketegangan India-Pakistan beberapa waktu lalu. Maka pemerintah juga harus dengar suara dari pasar,” tuturnya.
Dalam pandangannya, Indonesia perlu belajar dari negara seperti China yang memperkuat pengaruhnya melalui ekonomi, bukan kekuatan militer.
Ia mengkritik ketergantungan Indonesia pada impor, termasuk daging sapi dari Australia, yang menurutnya bisa ditekan melalui swasembada.
“Saya kaget baca berita, sapi kita masih impor. Padahal kebutuhan kita besar, apalagi menjelang Idul Adha. Kita harus bisa produksi sendiri,” ujarnya.
Hikmahanto menekankan pentingnya strategi jangka panjang. Jika konflik meletus, rekonstruksi pascaperang bisa menjadi peluang ekonomi. Indonesia harus siap mengambil peran, baik melalui diplomasi maupun penguatan sektor industri dan pertahanan.
“Amerika mungkin tidak ingin perang, tapi jika terjadi, mereka sudah siap. Kita juga harus siap, termasuk melalui perusahaan BUMN kita untuk ambil bagian dalam proyek rekonstruksi,” pungkasnya.(faz/iss)