
Maman Imanul Haq Anggota Komisi VIII DPR RI menilai, pelaksanaan ibadah haji 2025 perlu dievaluasi secara menyeluruh, terutama menyusul perubahan besar yang dilakukan pemerintah Arab Saudi dalam sistem penyelenggaraan haji.
Menurut Maman, Pemerintah Indonesia harus lebih siap menghadapi perubahan-perubahan, termasuk percepatan timeline haji 2026 yang sudah diumumkan sejak dini.
“Bayangkan, Arab Saudi sudah keluarkan timeline haji 2026. Persiapan dimulai 8 Februari, pemberangkatan pertama April. Ini harus kita siapkan dari sekarang,” ujar Maman dalam Forum Legislasi membahas UU Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah, di gedung Nusantara I Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Rabu (11/6/2025).
Dia menyebut, pelaksanaan haji tahun ini menjadi yang paling sepi dalam 30 tahun terakhir. Namun, Maman menekankan perubahan drastis yang terjadi di Arab Saudi perlu dipahami sebagai masa transisi besar-besaran.
“Ada transformasi dan adaptasi yang sangat radikal di Arab Saudi. Bahkan, mereka sendiri banyak yang belum siap, apalagi negara lain,” ujarnya.
Maman menjelaskan, sistem baru bernama syarikah menggantikan sistem lama muassasah, membuat banyak pihak di Arab Saudi sendiri kesulitan beradaptasi, termasuk dalam proses digitalisasi layanan haji.
“Hotel-hotel sudah digitalisasi, terdaftar dengan fasilitasnya. Tapi, pemain-pemain lama belum bisa mengejar. Indonesia dikelola oleh delapan syarikah, padahal kita punya keberagaman wilayah dan kebutuhan,” jelasnya.
Lebih lanjut, legislator dari Fraksi PKB itu menekankan pentingnya komunikasi dan koordinasi yang lebih kuat antara badan penyelenggara haji Indonesia dan pihak Arab Saudi agar ekosistem haji Indonesia dipahami dengan baik.
Digitalisasi juga disebut Maman sebagai penyebab munculnya sejumlah masalah, seperti data jamaah yang hilang atau tidak terinput dengan benar.
“Ada kasus jemaah hilang data, ada yang sudah sampai Jeddah tapi datanya bermasalah. Ini masa transisi yang harus dipahami bersama,” ungkapnya.
Di sisi lain, Maman juga mengkritik lemahnya penerapan istitha’ah atau kelayakan kesehatan jamaah. Dia menyebut banyak kasus jamaah yang seharusnya tidak layak berangkat tapi tetap bisa menunaikan haji, bahkan ada yang meninggal di embarkasi.
“Ada yang bilang, yang penting bisa berangkat, meninggal pun syukur di Mekah’. Saya bilang, kalau niatnya begitu, itu salah. Abu Jahal juga meninggal di Mekah, tapi dia tetap kafir,” tegas Maman.
Terkait pengelolaan akomodasi, transportasi, dan tenda di Mina, Maman menyoroti masih lemahnya pengawasan. Dia mencontohkan sopir bus yang tiba-tiba mengangkut jamaah dari negara lain karena tergiur imbalan.
“Saya kritik keras Kementerian Agama. Waktu awal kekacauan, informasi minim. Harusnya ada humas yang kuat, menjelaskan kondisi sebenarnya,” tambahnya.
Maman juga mengingatkan pentingnya revisi Undang-undang Haji yang saat ini sedang dibahas. Ia menekankan perlunya pemisahan yang jelas antara regulator, eksekutor, dan pengawas dalam penyelenggaraan haji.
“Hari ini semuanya bercampur. DPR juga baru mulai punya ruang untuk pengawasan. Kita ingin ke depan posisi ini lebih jelas,” ujarnya.
Dia juga menyinggung soal keberadaan KBIH, travel, hingga jemaah haji Furoda yang meski berada di bawah otoritas Arab Saudi, tetap harus diawasi oleh pemerintah Indonesia agar jamaah tidak dirugikan.
“Ada yang bayar Rp350 juta bahkan Rp1,2 miliar. Negara harus hadir, minimal sebagai pengawas,” tegasnya.
Maman mengingatkan bahwa penyelenggaraan haji bukan hanya soal ibadah, tapi juga soal tata kelola, SDM, dan transparansi keuangan.
“Haji ini etalase negara hadir. Bukan hanya urusan Kemenag, tapi juga Kementerian Perhubungan, Kesehatan, dan Luar Negeri. Jamaah harus merasa aman, nyaman, dan pulang membawa predikat mabrur,” pungkasnya.(faz/rid)