Dalam peringatan Hari Sumpah Pemuda, PDIP menghadirkan suara-suara segar anak muda yang tak hanya mengkritik, tetapi juga menawarkan solusi praktis.
Mulai dari masalah pendataan disabilitas yang disebut sebagai ‘masalah mendasar’, bayang-bayang impunitas pelanggaran HAM yang menggerus demokrasi, hingga krisis sampah elektronik (e-waste) yang justru menyimpan potensi ekonomi.
Forum ‘Yang Muda, Yang Bersuara’ ini menegaskan bahwa pembangunan Indonesia ke depan harus inklusif, berpihak pada keadilan, dan berkelanjutan.
Bertempat di Sekolah Partai, Lenteng Agung, Jakarta, Selasa (28/10/2025), Acara ini menghadirkan puluhan anak muda dari berbagai komunitas yang menyuarakan gagasan lintas isu
Salah satu pembicara, Marthella Rivera Roidatua Sirait, pendiri Koneksi Indonesia Inklusif (Konekin), menyoroti masalah mendasar bagi penyandang disabilitas di Indonesia: pendataan yang belum tuntas.
“Sudahkah semua penyandang disabilitas terdata di Indonesia? Belum,” ujar Marthella.
Ia mencontohkan kondisi aksesibilitas publik yang masih jauh dari ideal, seperti jalur pemandu kuning di MRT Cipete yang rusak parah.
Menurut data yang ia paparkan, 17,2 persen penyandang disabilitas tidak pernah bersekolah, dan hanya 23,9 persen yang aktif bekerja. Bahkan, kurang dari seribu perusahaan di Indonesia yang mempekerjakan tenaga kerja disabilitas.
Lewat komunitasnya, Marthella membangun pelatihan UMKM inklusif dan katalog digital pemasaran produk karya penyandang disabilitas.
“Program seperti ini layak direplikasi dan diakselerasi,” tegasnya.
Dari bidang hak asasi manusia, Jane Rosalina Rumpia dari KontraS mengingatkan bahwa lebih dari dua dekade setelah reformasi, bayang-bayang pelanggaran HAM berat belum hilang.
“Sepanjang Juli 2024 hingga Juli 2025, kami mencatat 89 pelanggaran kebebasan sipil dan 42 pembubaran aksi massa,” ungkap Jane.
Menurutnya, reformasi sektor keamanan yang tidak tuntas dan impunitas pelaku pelanggaran masih menjadi masalah serius. Ia menegaskan perlunya partai politik dan DPR berperan aktif dalam pengawasan pemerintah.
“Demokrasi yang sehat butuh partisipasi masyarakat dan anak muda yang berani bersuara,” katanya.
Dalam bidang pendidikan, Erlangga Sakti Ubaszti dari Indonesia Institute for Education Reform bersama Rizky Liberty menyoroti perlunya transformasi sistem pendidikan agar berpihak pada siswa.
“Kita masih menghadapi ketimpangan ekonomi yang membuat akses ke perguruan tinggi tidak merata. Pendidikan seharusnya jadi alat pembebasan, bukan seleksi sosial,” kata Rizky.
Mereka menyerukan pentingnya kurikulum yang adaptif terhadap perubahan zaman dan pembelajaran berbasis karakter serta kreativitas.
Sementara itu, Rafa Jafar, pendiri Komunitas EwasteRJ, menyoroti ancaman limbah elektronik yang kian menggunung akibat budaya konsumtif.
“E-waste mengandung logam berharga seperti emas, perak, paladium, bahkan nikel. Daripada terus menggali sumber daya alam, kita bisa memanfaatkannya dari perangkat elektronik yang tak terpakai,” jelasnya.
Rafa kini mengembangkan dropbox e-waste di sejumlah kota untuk mendorong partisipasi publik.
“Kami ingin membangun kesadaran ekonomi sirkular. Jangan buang, tapi ubah jadi peluang,” ujarnya.
Forum Suara Muda ini menegaskan bahwa generasi muda bukan sekadar penonton politik, melainkan mitra kritis dalam merancang masa depan bangsa. Mereka menuntut kebijakan yang inklusif, berkeadilan, dan berorientasi pada keberlanjutan.
“Suara muda adalah wajah Indonesia hari ini, beragam, peduli, dan berani bicara,” kata Ketua DPP PDIP bidang Pemuda dan Olahraga, MY Esti Wijayanti.(faz)
NOW ON AIR SSFM 100
