
Efriza pengamat politik dari Citra Institute mengingatkan, revisi Undang-undang Aparatur Sipil Negara (ASN) tidak menjadi pemberi harapan palsu (PHP) bagi para pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK).
Dia menilai, banyak dinamika yang harus dicermati dalam revisi undang-undang ini agar benar-benar berpihak pada keadilan dan efisiensi birokrasi.
“Kalau tidak hati-hati, ini bisa menjadi PHP bagi PPPK. Sudah lama mereka berharap ada kepastian karier, tapi jangan sampai harapan itu kandas karena kebijakan yang tak tuntas,” ujarnya dalam keterangannya, Rabu (15/10/2025).
Menurut Efriza, ketimpangan antara PNS dan PPPK menjadi akar dari tuntutan PPPK agar statusnya disetarakan. Dalam UU ASN sebelumnya, ASN dibagi menjadi dua, yakni PNS dan PPPK. Namun, dalam praktiknya, PPPK kerap diposisikan sebagai ASN kelas dua.
“PNS itu pegawai tetap, ada hak pensiun, jenjang karier struktural, dan dianggap sebagai inti birokrasi. Sedangkan PPPK itu kontrak, awalnya bahkan tidak punya hak pensiun dan cenderung stagnan di jabatan fungsional. Bahkan ada yang bilang PPPK itu flat, tidak punya golongan,” ujarnya.
Efriza menjelaskan, perubahan signifikan terjadi pada 2023 saat UU ASN nomor 5 tahun 2014 dicabut dan digantikan dengan UU nomor 20 tahun 2023.
UU baru itu mencoba memperkuat definisi ASN yang terdiri dari PNS dan PPPK, serta menekankan sistem meritokrasi, digitalisasi, dan kesejahteraan.
Namun, dia menyoroti implementasi sejumlah poin dalam UU tersebut masih menyisakan pertanyaan, terutama soal jaminan pensiun dan hari tua bagi PPPK yang belum merata. Faktor iuran dan kemampuan fiskal daerah disebut menjadi penghambat utama.
“Ini juga belum dibarengi dengan kesiapan database ASN secara nasional. Jangan-jangan saat revisi UU ini berjalan, sistem anggarannya justru belum siap. Pemerintah harus pastikan itu,” katanya.
Lebih lanjut, Efriza menyinggung isu netralitas ASN dan rencana pemindahan kewenangan pengangkatan, mutasi, dan pemberhentian pejabat eselon II ke pemerintah pusat.
Menurutnya, langkah itu justru berisiko menarik kembali birokrasi ke arah sentralisasi, yang bertentangan dengan semangat desentralisasi dan otonomi daerah.
“Kalau alasannya karena ASN di daerah dipolitisasi saat pilkada, menariknya ke pusat justru bisa lebih berbahaya. Kita bisa kembali ke gaya sentralisasi lama,” ucapnya.
Meski begitu, Efriza tetap melihat sejumlah terobosan positif dalam revisi UU ASN. Salah satunya adalah peluang PPPK untuk menjadi PNS, akses terhadap program pensiun dan tunjangan kinerja, serta rotasi jabatan struktural berbasis prinsip keadilan dan meritokrasi.
Selain itu, pengembangan karier ASN daerah yang berprestasi untuk masuk ke pusat juga dinilai sebagai langkah maju. Namun semua terobosan itu, lanjut Efriza, perlu dijalankan dengan hati-hati dan transparan.
“Proses seleksi harus adil, tanpa diskriminasi dan nepotisme. Jangan sampai meritokrasi ini hanya jadi jargon,” tegasnya.
Kemudian, Efriza juga menekankan pentingnya perubahan UU Pemerintah Daerah jika kewenangan ASN ingin dipindahkan ke pusat secara penuh. Tanpa revisi di ranah itu, ia khawatir akan terjadi tumpang tindih dan penafsiran kebijakan yang tidak sesuai dengan prinsip desentralisasi.
“Perlu koordinasi yang kuat antara DPR, Kemenpan RB, Kemendagri, dan Kemenkeu. Jangan sampai ini jadi langkah tergesa-gesa tanpa kesiapan data dan anggaran,” pungkasnya.(faz/rid)