Jumat, 11 Juli 2025

Rifqinizamy: Putusan MK Soal Pemilu Lokal Berpotensi Langgar Konstitusi, Harus Ada Konsensus Nasional

Laporan oleh Muchlis Fadjarudin
Bagikan
Rifqinizamy Karsayuda Ketua Komisi II DPR RI dalam Forum Legislasi di gedung Parlemen Senayan Jakarta, Kamis (10/7/2025). Foto: Faiz Fadjarudin suarasurabaya.net

Rifqinizamy Karsayuda Ketua Komisi II DPR RI menyampaikan keprihatinan mendalam terhadap implikasi konstitusional dari putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait pelaksanaan Pemilu lokal yang terpisah dari Pemilu nasional.

Menurutnya, skema pemilihan kepala daerah pada 2031, sementara Pemilu nasional digelar 2029, berpotensi melanggar amanat UUD 1945.

“Kalau kita laksanakan amar putusan MK untuk Pemilu lokal dua sampai dua setengah tahun setelah Pemilu nasional, kita justru menabrak norma konstitusi, khususnya Pasal 22E ayat 1 UUD 1945,” kata Rifqi dalam Forum Legislasi di gedung Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (10/7/2025).

Ia menegaskan bahwa norma konstitusi telah menetapkan bahwa Pemilu untuk memilih Presiden, DPR, DPD, dan DPRD dilaksanakan setiap lima tahun sekali secara serentak. Jika DPRD ditarik ke Pemilu lokal, menurut Rifqi, hal ini bukan hanya persoalan teknis kepemiluan, tetapi menyentuh persoalan prinsip konstitusional.

“Ini bukan sekadar soal teknis kepemiluan. Kita sedang dihadapkan pada persoalan mendasar yang menyangkut desain konstitusi kita. Kalau kita biarkan, ini bisa mengarah ke semacam ‘NKRI rasa federal’,” ujar politisi NasDem tersebut.

Rifqi juga mengkritisi posisi MK yang menurutnya telah melampaui kewenangannya dalam perkara tersebut. Ia menilai MK telah masuk ke ranah pembentuk norma, yang seharusnya menjadi wewenang DPR dan Presiden sebagai pembentuk undang-undang.

“Kewenangan Mahkamah Konstitusi hanya menguji undang-undang terhadap UUD, bukan membentuk norma baru. Itu tugas kami sebagai legislator,” tegas Rifqi.

Menurutnya, putusan MK yang menempatkan pemilihan kepala daerah ke dalam skema Pemilu lokal secara terpisah bertentangan dengan semangat Pasal 18 ayat 4 UUD 1945 yang menyebut kepala daerah dipilih secara demokratis, tapi berada dalam bab Pemerintahan Daerah, bukan dalam bab Pemilu.

“Pasal 18 itu muncul lebih dulu dari pasal 22E saat amandemen. Itu menunjukkan bahwa dari awal ada pemisahan konseptual antara pemilu nasional dan pemilihan kepala daerah,” tambah Rifqi yang juga doktor hukum tata negara.

Untuk merespons kondisi ini, Rifqi menyebut pihaknya tengah mengkaji skenario konstitusional untuk melakukan rekayasa hukum dalam bentuk norma transisi di UU Pemilu yang akan datang.

Ia juga menyatakan bahwa DPR akan melibatkan banyak pihak dalam upaya menyusun desain baru ini.

“Kami sedang dalam proses evaluasi menyeluruh terhadap sistem pemilu kita. Komisi II DPR sudah mengundang para pakar dan akademisi. Tapi lebih dari itu, kita butuh konsensus nasional untuk keluar dari turbulensi konstitusi ini,” ujar Rifqi.

Rifqi juga mendorong agar isu ini tidak hanya berhenti pada level teknis pemilu, melainkan menjadi bagian dari dialog kebangsaan yang lebih besar. Ia meminta MPR RI untuk turut mengambil peran dalam proses mencari titik temu ini.

“Saya sudah sampaikan kepada Ibu Lestari Moerdijat, Wakil Ketua MPR, agar perspektif elektoral ini dibawa ke MPR. Kita perlu duduk bersama sebagai bangsa,” pungkasnya.(faz/ham)

Berita Terkait


Potret NetterSelengkapnya

Kecelakaan Mobil di Jembatan Suramadu, Kondisinya Ringsek

Kecelakaan Bus Tabrak Belakang Truk di KM 749 Tol Sidoarjo-Waru

Pajero Masuk Sungai Menur Pumpungan

Kecelakaan Truk Tabrak Gardu Tol di Gate Waru Utama

Surabaya
Jumat, 11 Juli 2025
22o
Kurs