
Wacana mengenai Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) kembali mengemuka dalam Sidang Paripurna Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI. Sultan Bachtiar Najamudin Ketua DPD RI secara khusus menyinggung pentingnya keberadaan PPHN dalam konteks pembahasan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), terutama terkait kesinambungan pembangunan nasional lintas pemerintahan.
Pernyataan ini mendapat dukungan dari Lia Istifhama anggota DPD RI asal Jawa Timur. Dalam keterangannya, Lia menegaskan bahwa PPHN dapat menjadi instrumen strategis dalam menjaga keberlanjutan pembangunan nasional, terutama menghadapi tantangan politik lima tahunan yang kerap menghentikan proyek strategis di tengah jalan.
“Beberapa waktu lalu saya berdiskusi bersama Kang Maman Imanul Haq dari Badan Pengkajian MPR dan pengamat politik Karyono Wibowo dalam Diskusi Konstitusi dan Demokrasi Indonesia kerjasama antara Koordinatoriat Wartawan Parlemen (KWP) dengan Setjen MPR RI. Salah satu poin penting yang kami bahas adalah urgensi PPHN sebagai pedoman penyusunan APBN serta jembatan menuju pembangunan yang berkelanjutan,” ujar Lia, Jumat (22/8/2025).
Ia menekankan bahwa PPHN harus memiliki hubungan hukum yang kuat dengan dokumen perencanaan pembangunan nasional seperti RPJM (Rencana Pembangunan Jangka Menengah) dan RPJP (Rencana Pembangunan Jangka Panjang).
Menurutnya, posisi PPHN sejauh ini masih bersifat administratif melalui produk berupa beschikking, bukan regulasi.
“Setelah amandemen UUD 1945, kewenangan MPR tidak lagi dituangkan dalam bentuk regulasi atau peraturan (regelingen). Namun melalui Keputusan MPR No. 3 Tahun 2024, MPR telah menugaskan Badan Pengkajian untuk menyusun rancangan PPHN, dibantu oleh Komisi Kajian Ketatanegaraan (K3). Ini menjadi pijakan penting untuk memperkuat kedudukan PPHN secara hukum tanpa mengubah sistem presidensial yang ada,” jelas Lia.
Ia menegaskan bahwa PPHN tidak bertujuan mengembalikan dominasi MPR sebagai lembaga tertinggi negara seperti era sebelum reformasi. Justru, PPHN harus berdiri sebagai acuan kebijakan nasional jangka panjang yang mengikat seluruh elemen pemerintahan, tanpa mengganggu legitimasi pemilu langsung yang menjadi dasar sistem presidensial saat ini.
Lebih lanjut, Lia juga menyoroti pentingnya kembali mempertimbangkan penggunaan bentuk Ketetapan MPR (Tap MPR) dalam pengesahan PPHN. Menurutnya, Tap MPR memiliki kelebihan dibanding Peraturan atau Keputusan MPR karena bersifat eksternal dan mengikat seluruh lembaga negara serta masyarakat.
“Jika kita merujuk pada Pasal 7 UU No. 12 Tahun 2011, maka secara substansi, Ketetapan MPR lebih tepat digunakan karena pengambilan keputusannya melibatkan institusi kenegaraan yang lebih luas. Ini juga merepresentasikan kepentingan politik nasional serta daerah, karena melibatkan anggota DPR dan DPD,” jelasnya.
Lia pun berharap agar diskursus PPHN tidak hanya berhenti di ranah konseptual, melainkan bisa segera diformalkan secara hukum demi menjamin keberlanjutan pembangunan yang tidak lagi terputus hanya karena pergantian kekuasaan.(faz/iss)