
Firman Soebagyo Anggota Komisi IV DPR RI menanggapi penunjukan Sudaryono Wakil Menteri Pertanian (Wamentan) sebagai Komisaris Utama (Komut) PT Pupuk Indonesia.
Politikus senior Partai Golkar itu menyatakan prihatin atas maraknya praktik penempatan pejabat negara dalam jabatan strategis di badan usaha milik negara (BUMN).
Bahkan, penunjukan wakil menteri sebagai komisaris di BUMN tidak hanya terjadi di PT Pupuk Indonesia.
Menurutnya, praktik seperti itu berpotensi menimbulkan konflik kepentingan serius.
“Kita harus objektif melihat bahwa rangkap jabatan seperti itu bisa menciptakan tumpang tindih kepentingan, baik secara etis maupun administratif,” ujarnya lewat keterangan tertulis yang diterima suarasurabaya.net, Rabu (18/6/2025).
Lebih lanjut, Firman menjelaskan beberapa aspek yang berisiko menimbulkan konflik kepentingan.
Pertama, posisi ganda. Sebagai Wakil Menteri Pertanian yang memiliki andil besar dalam merumuskan dan menjalankan kebijakan pertanian nasional, Wamentan berada dalam posisi yang bisa memengaruhi arah kebijakan pupuk.
Di sisi lain, sebagai Komut PT Pupuk Indonesia, perusahaan strategis yang bergerak di bidang produksi dan distribusi pupuk, Wamentan juga terlibat dalam pengambilan keputusan bisnis.
“Itu tentu menimbulkan ruang abu-abu. Apakah keputusan yang diambil murni untuk kepentingan publik atau ada potensi untuk mendukung kepentingan korporasi tempat dia menjabat?” kata Firman.
Kedua, pengaruh terhadap kebijakan subsidi. Dalam posisinya di Kementerian Pertanian, Wamentan bisa terlibat langsung dalam penentuan subsidi, alokasi pupuk, dan distribusi.
Sehingga, menurut Firman, bisa menimbulkan pertanyaan mengenai netralitas dan objektivitas kebijakan yang dihasilkan.
Ketiga, keterlibatan dalam strategi perusahaan. Sebagai Komisaris Utama, tentu Wamentan ikut mengarahkan langkah strategis perusahaan termasuk dalam aspek investasi, ekspansi, hingga penentuan harga jual.
“Bagaimana jika ada pertentangan antara kepentingan negara dan kepentingan bisnis perusahaan? Di situ titik krusial konflik kepentingan itu muncul,” tegasnya.
Firman juga mengaku heran atas praktik yang menurutnya sebagai kemunduran dari prinsip reformasi birokrasi dan tata kelola BUMN.
Dia menyinggung masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Jusuf Kalla, yang saat itu sempat menerbitkan peraturan tegas untuk tidak menempatkan anggota partai politik atau pejabat aktif dalam jajaran Komisaris BUMN.
“Aturan Presiden SBY-JK sangat jelas, Komisaris BUMN tidak boleh dari unsur partai politik dan harus berasal dari kalangan profesional sesuai bidangnya. Bukan dari tim sukses, bukan karena politik balas jasa,” ucapnya.
Anggota dewan dari daerah pemilihan Jawa Tengah III itu berharap Prabowo Subianto Presiden memiliki keberanian dan komitmen untuk meninjau ulang praktik semacam itu
“Sudah saatnya pembenahan lewat revisi Undang-undang BUMN dan UU ASN agar penempatan jabatan di BUMN benar-benar berbasis kompetensi, bukan politik,” sebutnya.
Di sisi lain, Firman mengakui ada efek positif dari penunjukan tersebut. Seperti kemungkinan koordinasi kebijakan yang lebih efektif dan manfaat dari pengalaman serta keahlian yang dimiliki Wamentan di bidang pertanian.
“Namun, manfaat itu tetap harus diimbangi dengan mekanisme pengawasan yang ketat dan transparansi yang tinggi,” imbuhnya.
Lalu, Firman mengusulkan beberapa langkah mitigasi supaya potensi konflik kepentingan tidak berkembang menjadi pelanggaran etika atau hukum.
Pertama, pengungkapan kepentingan secara terbuka. Wamentan perlu secara transparan menyatakan afiliasi dan posisinya di PT Pupuk Indonesia, serta menjamin semua kebijakan yang dibuatnya tidak bias terhadap kepentingan korporasi tempatnya menjabat.
Kedua, Pengawasan DPR dan Pemerintah perlu melakukan kontrol dan audit berkala terhadap semua kebijakan yang diambil, baik di kementerian mau pun di BUMN.
Ketiga, Kode Etik BUMN. PT Pupuk Indonesia, lanjut Firman, harus memiliki kode etik yang tegas dalam mengatur peran komisaris, termasuk yang berasal dari unsur pejabat negar supaya tetap menjunjung tinggi integritas dan akuntabilitas publik.(rid)