Kamis, 17 Juli 2025

Wawasan Polling Suara Surabaya: Mayoritas Masyarakat Setuju Tahanan Korupsi Dilarang Pakai Penutup Wajah saat Diperiksa

Laporan oleh Akira Tandika Paramitaningtyas
Bagikan
Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi tahan satu orang tersangka kasus dugaan korupsi di Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI), Kamis (13/3/2025). Foto: Antara

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tengah membuat regulasi terkait larangan tahanan kasus korupsi memakai penutup wajah, baik saat diperiksa atau proses penyidikan.

Budi Prasetyo Juru Bicara KPK mengatakan, dengan aturan itu harapannya masyarakat dapat melihat dan mengenali para tahanan, sehingga bisa ikut mengawasi proses hukum. Sementara mekanismenya masih akan dibahas secara internal.

Menurut Budi, saat wajah tahanan ditampilkan di hadapan publik, bisa memitigasi kesalahan publikasi terutama oleh para jurnalis. Kalau aturan ini bisa diterapkan, lanjut Budi, bisa bermanfaat bagi masyarakat maupun pers mengenali para tahanan.

Untuk mendukung regulasi ini, Budi menyampaikan saat ini KPK sedang menyusun pengaturan mekanisme dan jadi pedoman bagi seluruh pihak-pihak terkait, khususnya tahanan yang diperiksa.

Sementara Johanis Tanak Wakil Ketua KPK mengatakan, saat ini RUU KUHAP sedang dalam proses pembahasan di DPR.

“Kami mengajak media untuk menyampaikan usulan ini pada publik. Sehingga kalau publik menganggap aturan ini perlu, baik dan positif, bisa disampaikan ke Komisi III DPR RI,” tambahnya.

Apakah masyarakat setuju atau tidak dengan larangan menggunakan penutup wajah bagi tahanan korupsi saat diperiksa?

Dalam diskusi di program Wawasan Polling Suara Surabaya, Kamis (17/7/2025) pagi, mayoritas masyarakat setuju dengan larangan menggunakan penutup wajah bagi tahanan korupsi saat diperiksa.

Dari data Gatekeeper Radio Suara Surabaya, 97 persen atau 263 pendengar setuju dengan larangan menggunakan penutup wajah bagi tahanan korupsi saat diperiksa. Kemudian 3 persen atau 9 pendengar memilih tidak setuju.

Sementara, berdasar data di Instagram @suarasurabayamedia, sebanyak 88 persen atau 502 orang setuju dengan larangan menggunakan penutup wajah bagi tahanan korupsi saat diperiksa. Kemudian 12 persen atau 69 peserta memilih tidak setuju.

Mengenai larangan menggunakan penutup wajah bagi tahanan korupsi saat diperiksa, Dr Suhartati Pakar Hukum Pidana Universitas Surabaya (UBAYA) menjelaskan bahwa pihaknya setuju dengan adanya regulasi ini.

Suhartati menyampaikan empat alasan yang membuat regulasi ini perlu diterapkan. Pertama, soal keterbukaan informasi.

“Kedua, jangan memberikan keistimewaan pada tersangka korupsi. Ketiga, memberikan sanksi sosial dan efek jera. Sementara yang keempat dan paling penting adalah meningkatkan partisipasi aktif dari masyarakat dalam hal pengawasan juga ikut mengawal kasus korupsi,” jelasnya saat onair di Radio Suara Surabaya, Kamis (17/7/2025).

Namun, rencana regulasi terkait larangan penggunaan penutup wajah bagi tersangka korupsi, terganjal asas praduga tak bersalah. Yang mana tak jarang juga menjadi bahan diskusi dan perdebatan.

Menurut Suhartati, dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), terdapat pasal yang mengatakan bahwa proses penyidikan hingga penuntutan tidak boleh melanggar asas praduga tak bersalah.

“Tapi, kalau kita mengupas kembali lebih dalam soal asas praduga tak bersalah, apakah betul larangan penggunaan penutup wajah berkaitan dengan itu? Kalau menurut saya, asas praduga tak bersalah itu poin krusialnya adalah menempatkan tersangka sebagai subjek, bukan sebagai objek dalam pemeriksaan perkara pidana,” jelasnya.

Dia menambahkan, dalam asas praduga tak bersalah tersangka berhak mendapat pendampingan, mendapat penerjemah hukum, mendapat perlakuan sama di mata hukum, juga tidak dikenakan penyiksaan dalam proses pemeriksaan.

“Sementara kalau kita lihat, dengan melarang tersangka menggunakan penutup wajah, apakah melanggar asas praduga tak bersalah? Menurut saya kok nggak,” ungkapnya.

Suhartati juga mencontohkan bahwa perlakuan hukum terhadap tersangka kasus korupsi, berbeda dengan di Indonesia, yang seolah diistimewakan.

Terakhir, Suhartati menyarankan agar seluruh instansi penegakan hukum di Indonesia bisa duduk bersama untuk menyamakan visi dan komitmen dalam menangani perkara korupsi.

“Kalau tidak duduk bersama, tidak punya komitmen bersama, kalau satu jalannya ke kiri, satu jalannya ke kanan, maka publik ini akan dibuat bingung. Dan itu justru akan menjadi celah, yang bisa dimanfaatkan para koruptor-koruptor itu,” tandasnya.(kir/faz)

Berita Terkait

Potret NetterSelengkapnya

Kecelakaan Mobil di Jembatan Suramadu, Kondisinya Ringsek

Kecelakaan Bus Tabrak Belakang Truk di KM 749 Tol Sidoarjo-Waru

Pajero Masuk Sungai Menur Pumpungan

Kecelakaan Truk Tabrak Gardu Tol di Gate Waru Utama

Surabaya
Kamis, 17 Juli 2025
27o
Kurs