
Yusril Ihza Mahendra Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan mengimbau masyarakat Aceh untuk tidak salah paham atas pernyataannya terkait MoU Helsinki dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1956 dalam polemik status empat pulau antara Aceh dan Sumatera Utara.
Empat pulau yang dimaksud adalah Pulau Mangkir Gadang, Mangkir Ketek, Lipan, dan Panjang yang telah ditetapkan sebagai bagian dari wilayah Provinsi Aceh oleh Prabowo Subianto Presiden.
Namun, sejumlah tokoh masyarakat Aceh menanggapi pernyataan Yusril secara keliru dan menudingnya mengabaikan MoU Helsinki.
“Tidak ada yang menafikan peran penting MoU Helsinki. Saya justru terlibat langsung dalam prosesnya saat menjabat Mensesneg,” kata Yusril saat bertemu diaspora Indonesia di Sydney, Kamis (19/6/2025).
Ia menegaskan bahwa meskipun MoU Helsinki menjadi landasan damai antara Gerakan Aceh Merdeka dan Pemerintah RI, penentuan batas wilayah harus mengacu pada regulasi yang lebih mutakhir. Dalam hal ini, UU No 23 Tahun 2014 dan revisinya melalui UU No 9 Tahun 2015 menjadi rujukan sah terkait administrasi wilayah.
“UU 24 Tahun 1956 hanya menyebutkan nama-nama kabupaten, tanpa menyebut keempat pulau itu. Maka penetapan wilayah harus merujuk ke peraturan Mendagri sesuai UU Pemerintahan Daerah,” ujarnya.
Yusril juga menjelaskan bahwa keputusan Prabowo Presiden mengacu pada kesepakatan antara Ibrahim Hasan Gubernur Aceh dan Raja Inal Siregar Gubernur Sumut pada 1992, jauh sebelum adanya MoU Helsinki. Kesepakatan ini disusun atas arahan Soeharto Presiden dan Rudini Mendagri kala itu.
“Saya heran jika ada yang menuduh saya tidak menghormati MoU. Justru saya punya sejarah panjang dalam membantu Aceh, bahkan sebelum MoU itu lahir,” tegas Yusril, yang mengaku pertama kali mengenal Aceh dari gurunya, Prof Osman Raliby, dan tokoh pejuang Aceh, Tengku Muhammad Daoed Beureueh.
Yusril pun mengajak semua pihak agar tidak memelintir pernyataannya dan tetap menjaga semangat persatuan sesuai semangat MoU Helsinki.(faz/ham)