Fenomena quiet quitting baru-baru ini menjadi salah satu topik yang marak diperbincangkan. Perilaku membatasi diri untuk tidak melakukan hal-hal yang lebih di tempat kerja ini, digadang-gadang menjadi tren baru yang diminati oleh gen Z dan milenial.
Reza Lidia Sari S Psi M Si Dosen Fakultas Psikologi (FPsi) Universitas Airlangga (UNAIR), menjelaskan bahwa quiet quitting merupakan respons perlawanan dari hustle culture yang menganggap pentingnya dedikasi yang amat tinggi pada pekerjaan.
“Perilaku ini berkebalikan dengan extra-role behavior di mana seseorang berkenan mengerjakan pekerjaan diluar job desc-nya demi kelancaran sistem organisasi,” jelas Reza dalam keterangan tertulis yang dikutip suarasurabaya.net pada Rabu (21/9/2022).
Dosen mata kuliah Psikologi Organisasi dan Industri itu menyebutkan bahwa sejatinya quiet quitting bukan perilaku yang sepenuhnya baik atau sepenuhnya buruk.
“Masing-masing perilaku memiliki kelebihan dan kekurangannya,” sebutnya.
Quiet quitting dapat diasosiasikan positif saat seseorang mencoba membatasi pekerjaan sesuai dengan porsinya, sehingga dapat menciptakan kondisi work-life balance. Kondisi ini membatasi antara dunia kerja dan dunia non kerja yang menjadi situasi idaman bagi kebanyakan gen Z dan Milenial.
“Selain itu, tren ini dianggap sebagai hal yang positif karena dapat secara efisien memaksimalkan jam kerja tanpa harus lembur,” lanjutnya.
Quiet quitting juga menjadi salah satu mekanisme koping untuk mencegah overwork.
“Bisa menjadi jalan keluar untuk pulih dalam burnout dalam bekerja, menarik diri sejenak untuk mengatur ritme kerja yang lebih baik,” jelasnya.
Sementara menurut Reza tren ini dapat bernilai negatif karena bisa menyebabkan seseorang kurang termotivasi dalam menjalankan perannya sebagai karyawan. Akibatnya, kecilnya kontribusi yang diberikan kepada perusahaan akan menyebabkan terhambatnya pertumbuhan jenjang karir.
Selain itu, Reza juga menyebutkan bahwa dalam organisasi, perilaku ini dapat menyebabkan konflik antar karyawan.
“Kecemburuan sosial dapat timbul ketika melihat perbedaan beban atau waktu pulang yang berbeda, untuk itu sebelum timbul konflik sosial, pemimpin organisasi harus peka terhadap situasi ini,” sarannya.(dfn)