
Konsulat Jenderal Jepang di Surabaya bersama Japan Foundation menggelar acara pemutaran dan bedah film “Spring at Takano Tofu” di Aula Konsulat Jenderal Jepang, Jalan Sumatera, Surabaya, Rabu (25 Juni 2025).
Pemutaran dan bedah film ini bagian dari kegiatan “Butai 2025”, yang menarget pelajar untuk mengisi liburan sekolah dengan menambah wawasan seputar budaya Jepang.
Film Spring at Takano Tofu sendiri menceritakan produsen tahu rumahan bernama Takano, dengan latar tempat suatu kota kecil di Hiroshima-Jepang, sebelum masa pandemi Covid-19.
Takano adalah pria berusia 76 tahun, tinggal berdua bersama Haru putrinya yang berusia 49 tahun.
Setiap hari rutinitas mereka membuat tahu. Dimulai pada pagi hari, mereka menggiling kedelai dengan memasukkannya ke dalam mesin yang memisahkan sari kedelai dan ampasnya. Kemudian diaduk dengan nigari sampai dicetak menjadi tahu.
Suatu hari, Takano yang mengalami penyakit jantung, mendapat tekanan dari teman-temannya supaya mencarikan jodoh untuk Haru. Jangan sampai Haru kesepian, kalau kelak Takano meninggal dunia.
Di sisi lain, saat di rumah sakit, Takano bertemu Nakano, pasien wanita yang mengalami masalah jantung, dampak bom atom Hiroshima saat dia masih kecil.
Mengenalkan Budaya Omiai dan Hari Tua di Jepang
Diskusi dan bedah film Spring at Takano Tofu dipandu oleh Muchamad Zinuri, staf Bagian Pendidikan Konsulat Jenderal Jepang di Surabaya serta menghadirkan 3 narasumber native speaker: Mitsuharu-sensei, Urara-sensei, dan Kazuhama-sensei.
Sesuai tujuannya, film ini langsung menarik perhatian peserta untuk mendiskusikan banyak hal dalam film. Di antaranya tentang omiai atau perjodohan.
Dalam film, digambarkan teman-teman Takano mengumpulkan CV dari pria-pria pilihan, untuk dicek dan diwawancara, siapa yang cocok dijodohkan dengan Haru.
Kazuhama-sensei menceritakan, di Jepang zaman sekarang omiai sudah sangat jarang ditemukan. Biasanya orang menemukan pasangan lewat teman sekolah atau kuliah. Tapi orang tuanya serta kakek-nenek Kazuhama-sensei, menikah lewat perjodohan.
Sementara Mitsuharu-sensei dan Urara-sensei yang berusia lebih muda dibanding Kazuhama-sensei, menceritakan sekarang banyak juga anak muda yang mencari pasangan lewat dating apps.
Kalau di Indonesia orang biasa bertanya kapan menikah, punya anak, dan sebagainya, maka di Jepang kadang juga masih ada yang bertanya demikian, meski lebih banyak dalam konteks bercanda. Kazuhama-sensei sendiri tidak mau menanyakan hal seperti itu pada anak muda, karena khawatir menjadi harassment.
Dalam film, Takano dan Nakano diceritakan menjadi lansia yang saling mendukung satu sama lain di hari tua. Nakano yang terdampak bom atom Hiroshima puluhan tahun lalu, mengalami masalah kesehatan dan harus rutin ke rumah sakit.
Dia tinggal sendirian tanpa pasangan maupun anak dan saudara.
Takano sendiri juga dilema. Dia ingin membiarkan Haru menikah dan berbahagia, tapi itu berarti dirinya akan kesepian dan harus melanjutkan toko tahunya sendirian.
Haru juga terlihat tidak terlalu menunjukkan keinginannya menikah lagi, karena ingin terus mendampingi ayahnya dan tidak memikirkan kehidupannya sendiri.
Masing-masing narasumber bedah film bercerita, bagaimana kondisi keluarga mereka yang berbeda-beda, menghadapi anggota keluarga yang berusia lanjut.
Kazuhama-sensei mendorong orang tuanya untuk selalu dekat dengan teman-teman mereka, karena anak-anaknya semua sudah menikah dan tidak tinggal bersama orang tua di rumah. Masing-masing keluarga membentuk kemandirian.
Sementara Mitsuharu-sensei menceritakan, keluarganya berupaya tetap tinggal berdekatan supaya tetap bisa saling mengetahui kalau ada apa-apa. Jadi rumah orang tuanya, rumah kakek-nenek serta rumah saudara lainnya, masih di wilayah yang sama.
Fenomena lansia yang tinggal sendirian, menurut Urara-sensei, dipengaruhi karakter orang Jepang yang benar-benar tidak mau merepotkan orang lain, bahkan anak sendiri.
Saat seseorang sudah menikah, maka mereka sudah menjadi keluarga yang terpisah dan punya urusan masing-masing. Hanya pada keadaan darurat, mungkin barulah mereka meminta pertolongan saudaranya.
Bukan Sekadar Tentang Tahu
Dalam Spring at Takano Tofu, adegan pembuatan tahu dan bagaimana rasanya yang enak dideskripsikan lewat percakapan karakter. Hal itu memancing keinginan peserta untuk merasakan seperti apa tahu Jepang.
Umumnya tahu Jepang yang digambarkan dalam film berwarna putih, tekstur lembut, dengan rasa kedelai yang sangat kuat dan tawar.
Kazuhama-sensei dan Urara-sensei mengaku mengonsumsi tahu sebagai menu sehari-hari di rumah, terutama dalam bentuk hiyayakko. Satu balok tahu ukuran kecil yang dingin diletakkan di piring, diberi irisan daun bawang, jahe dan shoyu atau kecap asin.
Kadang potongan kecil tahu juga ditambahkan dalam sup miso bersama rumput laut. Ada juga kembang tahu dengan tekstur lembut yang ditambahkan dalam sup.
Spring at Takano Tofu bukan sekadar cerita tentang sepotong tahu, melainkan juga potongan cerita kehidupan yang sederhana namun menyentuh. (and/ham/faz)