
Jakarta dikenal sebagai pusat industri hiburan dan budaya populer global di Indonesia. Jakarta seolah menjadi acuan utama gaya hidup urban, modern, dan kekinian.
Namun, muncul pertanyaan penting: perlukah semua kota di Indonesia, termasuk Surabaya, meniru Jakarta agar dianggap relevan?
Bagong Suyanto Guru Besar Sosiologi Universitas Airlangga (Unair) memberikan pandangan kritis mengenai fenomena ini. Menurutnya, tidak semua kota harus mengekor Jakarta.
Justru, setiap kota perlu menggali dan menonjolkan identitas budayanya sendiri.
“Jakarta memang masih menjadi pusat kebudayaan dan industri hiburan. Tapi itu karena masyarakatnya hidup dalam irama kerja yang sangat intens. Hiburan di sana menjadi kebutuhan, baik sebagai sarana relaksasi maupun sebagai ‘tiket sosial’ di lingkaran pergaulan,” kata Bagong.
Ia mencontohkan bagaimana tekanan hidup di Jakarta mendorong masyarakatnya mencari pelarian dalam bentuk hiburan besar-besaran, seperti konser artis internasional atau festival budaya populer.
“Orang Jakarta bisa stres hanya karena tidak ikut nonton konser yang sedang viral. Apalagi kalau semua teman kantornya ikut, tapi dia tidak. Itu bisa jadi beban sosial,” tambahnya.
Surabaya Beda: Lebih Santai, Lebih Lokal
Berbeda dengan Jakarta, Bagong menggambarkan Surabaya sebagai kota yang lebih santai dan punya dinamika sosial yang tidak terlalu menekan. Di Surabaya, hiburan tidak harus dalam bentuk konser besar atau festival internasional.
“Orang Surabaya lebih menikmati tontonan olahraga di rumah, ikut jalan sehat di lingkungan, atau acara lokal lainnya. Tidak harus glamor, tapi tetap bermakna dan menyenangkan,” jelasnya.
Ia juga menggarisbawahi bahwa sebagian warga Surabaya yang tergoda gaya hidup ibukota lebih memilih pergi ke Jakarta untuk mendapatkan pengalaman hiburan yang berbeda. Namun menurutnya, Surabaya tidak perlu memaksakan diri menjadi ‘Jakarta kedua’.
“Misalnya Jember itu dengan karnavalnya, itu kan sudah menjadi bagian dari identitas Jember. Dan orang ke sana ketika ada momen itu. Surabaya juga. Saya kira harus punya apa yang menjadi industri hiburan yang memang khas Surabaya dan tidak perlu harus mengundang orang dari berbagai negara untuk hadir,” jabarnya.
Mengapa Kota Harus Unik?
Bagong mengingatkan bahwa Indonesia sedang menghadapi fenomena penyeragaman budaya kota. Banyak kota besar berkembang dengan aktivitas dan konsep hiburan yang sama, hingga publik kesulitan membedakan antara Jakarta, Surabaya, Yogyakarta, Semarang, atau kota lainnya.
“Kekhawatirannya itu kota-kota besar di Indonesia ini tumbuhnya makin seragam. Orang tidak bisa membedakan Jakarta, Surabaya, Yogyakarta, Semarang. Karena aktivitas yang dikembangkan sama. Mestinya tidak ya. Mestinya itu masing-masing kota harus punya kekhasan sendiri-sendiri,” tegasnya.
Dalam konteks ini, Surabaya memiliki peluang besar untuk mengembangkan industri hiburan yang khas, lokal, dan berkarakter – bukan semata mengejar gemerlap konser internasional.
Tak lupa, Bagong menyoroti kerasnya ritme hidup di Jakarta. Dari kemacetan parah hingga stres akibat hal-hal sepele, seperti tidak sempat ke toilet saat terjebak banjir dan kemacetan berjam-jam.
Sebaliknya, kehidupan di Surabaya digambarkan jauh lebih ringan. “Kalau saya ketinggalan barang di rumah, saya bisa pulang lagi dua kali. Coba di Jakarta, ketinggalan barang itu bisa jadi petaka,” katanya sambil tersenyum.
Dengan ritme kehidupan yang berbeda, kota seperti Surabaya dinilai justru bisa menjadi contoh bagaimana membangun industri hiburan dan budaya yang membumi. Tidak meniru, tapi tetap relevan dengan perkembangan zaman. (saf/ipg)