Minggu, 4 Mei 2025

Studi: Tidur Berkualitas Penting untuk Menjaga Kesehatan Otak dan Cegah Demensia

Laporan oleh Billy Patoppoi
Bagikan
Ilustrasi seorang wanita yang sedang tidur . Foto: Freepik

Kualitas tidur sangat berpengaruh pada kesehatan otak dan risiko demensia menurut para peneliti.

Dilansir Antara pada Minggu (4/5/2025), menurut studi yang dipublikasikan di Neurology orang-orang pada usia 30-an dan 40-an dengan tidur yang sangat terganggu punya kemungkinan dua hingga tiga kali lebih besar mendapat hasil lebih rendah dalam fungsi eksekutif, memori kerja, dan kecepatan pemrosesan sekitar satu dekade kemudian.

Para ilmuwan berpendapat tidur lelap dan tidur dengan gerakan mata cepat (Rapid Eye Movement/REM) sangat berpengaruh terhadap kesehatan otak dan risiko demensia.

Sebuah studi yang diterbitkan bulan lalu mengenai orang-orang dengan kekurangan tidur lelap dan tidur REM menemukan bahwa otak subjek menunjukkan tanda-tanda atrofi dalam pemindaian MRI 13 hingga 17 tahun setelah kekurangan tersebut diamati.

Atrofi itu tampak serupa dengan apa yang ditemukan pada tahap awal penyakit Alzheimer.

Menurut para ilmuwan, saat tidur otak manusia terus-menerus berputar melalui empat fase yang berbeda.

Fase yang dimaksud mencakup dua tahap tidur ringan, saat tubuh rileks dan detak jantung serta suhu tubuh menurun; tidur lelap atau tidur gelombang lambat, saat aktivitas otak melambat; dan REM, saat orang biasanya bermimpi.

Otak umumnya membutuhkan waktu sekitar 90 menit untuk berputar melalui keempat tahap tersebut dan kemudian memulai kembali prosesnya.​​​​​​​

Menurut profesor madya Matthew Pase, dari School of Psychological Sciences di Monash University, Australia, tidur lelap dan tidur REM membantu otak “menyembuhkan dirinya sendiri” dari kelelahan dan stres serta mengonsolidasikan ingatan.

Dalam tidur nyenyak, otak mengatur metabolisme dan hormon serta bertindak sebagai “pembilas” otak, membersihkan zat-zat yang tidak berguna.

Sementara REM adalah saat otak memproses emosi dan informasi baru yang diperoleh saat terjaga.

Kedua fase tersebut memengaruhi risiko demensia dengan cara yang berbeda, menurut para ilmuwan.

Sebagai bagian dari proses pembilasan saat tidur lelap, otak mengeluarkan protein amiloid yang merupakan ciri khas Alzheimer.

Gangguan tidur yang terjadi selama bertahun-tahun dan pembilasan otak yang tidak tuntas, yang dikenal sebagai kegagalan glimfatik, dapat mempercepat timbulnya demensia menurut Dr. Maiken Nedergaard, seorang profesor neurologi di University of Rochester Medical Center yang meneliti sistem glimfatik.

Sebuah studi tahun 2017 yang melibatkan lebih dari 300 orang berusia di atas 60 tahun menemukan bahwa durasi tidur REM malam yang lebih pendek dan waktu yang lebih lama untuk mencapai fase REM dalam setiap siklus tidur merupakan prediktor demensia di kemudian hari.

Menurut Dr. Pase, yang ikut menulis studi, hal itu bisa jadi karena REM “sangat penting” untuk menyimpan dan memproses ingatan.

Kehilangan kapasitas itu melemahkan pertahanan otak terhadap penurunan kognitif dan dapat mempercepat atrofi di bagian otak yang tidak digunakan, katanya sebagaimana dikutip dalam artikel The New York Times.

Namun, ia mengatakan, sulit untuk mengungkap hubungan sebab akibat antara kurang tidur dan demensia.

Ia menjelaskan bahwa orang dewasa, terutama perempuan, secara alami menghabiskan lebih sedikit waktu dalam tidur nyenyak dan REM seiring dengan bertambahnya usia.

Para ilmuwan sudah tahu bahwa penuaan itu sendiri meningkatkan risiko demensia, tetapi demensia juga cenderung memperburuk tidur. Ada kemungkinan kedua proses itu “saling terkait”, katanya.

Dr. Roneil Malkani, seorang profesor madya kedokteran tidur di Feinberg School of Medicine, Northwestern University, menyampaikan bahwa berupaya untuk meningkatkan kualitas tidur tidak ada ruginya.

Menurut dia, berusaha tidur sekitar tujuh jam setiap malam adalah langkah termudah yang dapat dilakukan. “Itu memberi otak cukup waktu untuk melewati tahapan antara empat dan tujuh kali,” katanya.

Zsofia Zavecz, seorang peneliti pascadoktoral di Adaptive Brain Lab University of Cambridge, menyampaikan bahwa orang dapat tidur lebih mudah kalau punya waktu tidur dan bangun yang konsisten.

Ia juga mengatakan bahwa melakukan apa pun yang “secara bermakna melibatkan otak untuk sementara waktu”, seperti mempelajari keterampilan baru, dapat melelahkan bagian otak tertentu dan meningkatkan kebutuhan mereka untuk tidur gelombang lambat yang memulihkan.

Sementara itu, Dr. Nedergaard menyampaikan bahwa berolahraga dapat membuat orang tetap aktif secara mental dan meningkatkan aliran darah ke otak, yang membantu dalam pembersihan glimfatik.

“Meminimalkan stres juga mempercepat prosesnya,” katanya.

Dr. Pase mengatakan bahwa secara umum menyisihkan cukup waktu untuk tidur adalah cara terbaik untuk memastikan otak mencapai tahap yang lebih dalam, dan tergantung pada defisit, otak mungkin menghabiskan lebih banyak waktu dalam REM atau tidur nyenyak.

“Biarkan otak melakukan tugasnya, dan ia akan bekerja sesuai kebutuhannya,” kata dia.(ant/kak/iss)

Berita Terkait

Potret NetterSelengkapnya

Avanza Terbalik Usai Tabrak 2 Mobil Parkir

Mobil Terbakar Habis di KM 750 Tol Sidoarjo arah Waru

Kecelakaan Dua Truk di KM 751.400 Tol Sidoarjo arah Waru

BMW Tabrak Tiga Motor, Dua Tewas

Surabaya
Minggu, 4 Mei 2025
33o
Kurs