
Viva Yoga Mauladi wakil ketua Komisi IV DPR RI menjelaskan kalau Kementrian Perhubungan menilai operasi kapal pengangkut ternak sapi dari Nusa Tenggara Timur (NTT) tidak optimal.
Menurutnya, sudah dua kali kapal kembali dalam keadaan kosong, sedangkan pada 11 Desember 2015 kapal khusus ternak KM Camara Nusantara I yang ditargetkan dapat mengangkut 500 ekor sapi namun hanya 353 ekor sapi yang terangkut.
Padahal, pemerintah sudah memberikan subsidi Rp8 miliar dalam empat bulan. Setiap ekor sapi disubsidi Rp500 ribu sehingga biaya angkut yang semula Rp1,8 juta/ ekor sapi turun menjadi Rp1,3 juta.
“Kebijakan pemerintah menyediakan kapal khusus ternak di landasi oleh PP nomor 20 Tahun 2010 tentang Angkutan Perairan, di mana kapal laut dapat digunakan untuk mengangkut hewan ternak. Kemudian di Permenhub Nomor PM 182 Tahun 2015 tentang Tarif Muatan untuk Kegiatan Subsidi Pengoperasian Kapal Ternak yang menugaskan PT Pelni sebagai operator ternak.” ujar Viva dalam rilisnya yang diterima suarasurabaya.net, Jumat (5/2/2016)
Dari hal tersebut, kata Viva, beberapa hal pokok yang bisa digarisbawahi adalah tujuan pemerintah mengadakan kapal ternak adalah untuk memotong mata rantai biaya tinggi. Terutama di transportasi dan targetnya dapat menurunkan harga daging sapi di pasar hingga Rp75 ribu/ Kg belum berhasil alias gagal.
Hal ini disebabkan sapi yang disediakan oleh kapal ternak hanya sebesar 1 persen dari kebutuhan pasar konsumen sehingga sama sekali tidak mampu menurunkan harga daging sapi.
Kemudian pemberian subsidi pemerintah untuk kapal ternak ibarat melukis di awan, tidak bermanfaat apa-apa, inefisien, dan inefektif. Subsidi itu bersumber dari uang rakyat maka setiap penggunaannya harus bermanfaat buat rakyat. Subsidi untuk kapal ternak kenyataannya tidak bermanfaat buat rakyat.
Jika pemerintah tetap menyediakan kapal ternak maka orientasinya adalah bisnis komersial, tidak boleh ada subsidi.
Viva menyarankan, sebaiknya pemerintah membuat kebijakan yang mendekatkan sentra produsen dan konsumen sehingga mengurangi biaya transportasi. Permintaan daging sapi terbesar di wilayah Jabodetabek, sekitar 65 persen.
Seharusnya pemerintah membangun sentra-sentra produksi peternakan sapi di Provinsi Banten, Jawa Barat, dan sekitarnya. Masih banyak hamparan tanah luas. Masih banyak peternak yang membutuhkan bantuan pemerintah. Lebih baik subsidi untuk biaya angkut direlokasikan untuk mensubsidi peternak rakyat melalui pendampingan dan penyuluhan dari pemerintah.
Pemerintah, menurut Viva bisa menugaskan BUMN pangan untuk fokus di pembibitan, budidaya, dan penggemukan sapi.
“BUMN ini dapat memberdayakan BUMD dan membangun konsep peternakan inti-plasma yang melibatkan rakyat peternak sehingga ke depan pemerintah dapat berfungsi untuk mengendalikan pasokan dan harga.” kata dia.
Viva minta kepada pemerintah untuk serius meningkatkan jumlah populasi dan mutu genetik sapi, serta meningkatkan pendapatan petani ternak.
Hal yang harus dilakukan, kata Viva adalah mencegah pemotongan hewan betina produktif di Rumah Pemotongan Hewan (RPH) atau di luar melalui kebijakan yang tidak merugikan petani ternak. Misalnya sapi itu dibeli pemerintah melalui dinas atau memberikan insentif kepada petani ternak yang memiliki sapi induk bunting dan melahirkan.
Kemudian melakukan impor sapi indukan produktif untuk menambah jumlah populasi dan perbaikan mutu genetik melalui teknologi budidaya yang sederhana dan tepat guna. Dan memberikan pendampingan dan penyuluhan secara efektif kepada petani ternak, baik dari tata laksana, pakan, atau penyakit hewan sehingga dapat meningkat produktivitasnya.
Untuk itu, pemerintah harus menjadikan Indonesia sabagai eksportir pangan dunia, khususnya sapi dan daging. Potensi itu sangat terbuka lebar. Tinggal keseriusan pemerintah untuk merealisasikan cita-cita itu sesuai Nawa Citanya Jokowi Presiden.(faz/dop)