Kamis, 29 Mei 2025

Psikolog: Penghapusan Tes Calistung dalam Proses Seleksi Masuk SD Buka Ruang Berkembang Anak

Laporan oleh Billy Patoppoi
Bagikan
Anak-anak sedang mewarnai di puncak acara "Dunia Si Kecil". Foto: Antara

Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) resmi menghapus tes baca, tulis, dan menghitung (calistung) untuk sistem penerimaan murid baru (SPMB) tingkat sekolah dasar (SD) tahun ajaran 2025-2026.

Keputusan itu tertuang dalam Peraturan Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah nomor 3 tahun 2025 Tentang Sistem Penerimaan Murid Baru. Pihak Kemendikdasmen menyebut, dihapusnya calistung itu memberi kesempatan setara untuk semua anak, tanpa membedakan kemampuan akademik awal mereka.

Dari kacamata psikolog, kebijakan itu dinilai positif. Menurut Nurul Hidayati Psikolog dari Pusat Pembelajaran Keluarga (Puspaga) Surabaya, selain menurunkan tekanan terhadap anak dan orang tua, kebijakan itu membuka ruang lebih luas bagi anak usia dini untuk tumbuh sesuai tahapan perkembangannya, terutama dalam aspek sosial-emosional dan kemandirian.

“Itu bisa dipandang sebagai hal yang positif, karena anak-anak tidak hanya ditekankan pada dimensi kognitif-akademis saja. Tapi juga sosial-emosional, bahasa, dan kemandirian. Artinya, mereka bisa berkembang secara menyeluruh,” kata Nurul dalam program Wawasan Suara Surabaya, Senin (26/5/2025).

Nurul yang juga tergabung dalam Asosiasi Psikolog Sekolah Indonesia (APSI) Jatim menyebut, selama ini tekanan untuk menguasai calistung justru membuat proses pembelajaran di Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), terkesan terlalu akademis.

Padahal, jenjang PAUD seharusnya bertujuan untuk membina dan mendukung pertumbuhan serta perkembangan jasmani, rohani, serta sosial emosional anak. Sehingga, mereka siap melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi.

“Kalau bicara school readiness (kesiapan bersekolah), itu bukan hanya bisa baca, tulis, hitung. Tapi, juga kemampuan memahami informasi, mengikuti instruksi, bahkan mengelola emosi saat merasa marah atau tidak nyaman,” terangnya.

Lebih lanjut, Nurul juga menyorot beban psikologis anak-anak yang dipaksa menguasai calistung lebih awal dari kesiapan usianya. Menurutnya, hal ini bisa menimbulkan stres dan kecemasan jangka panjang pada anak.

“Kalau dipaksa belajar calistung sebelum waktunya, karena belum matang, anak-anak bisa stres. Tapi kalau yang diajarkan adalah kemampuan kognitif yang sesuai usia seperti menyusun puzzle atau bermain lego, itu justru membantu anak lebih fokus dan aktif bertanya,” tambahnya.

Meski demikian, dia menegaskan kalau yang dihapus dari kebijakan itu bukan kemampuan calistungnya, tapi tes masuk SD yang menggunakan sistem ini sebagai tolok ukur diterima tidaknya anak di sekolah tertentu.

“Calistung tetap penting sebagai dasar akademik. Tapi, diberikan pada usia yang tepat, saat anak sudah siap secara menyeluruh. Biasanya pada usia 6-7 tahun, tergantung kesiapan tiap anak,” katanya.

Evaluasi Kurikulum di Tingkat SD Pascapenghapusan Calistung

Pada kesempatan itu, Nurul juga mengingatkan, transisi tidak cukup hanya dengan menghapus tes calistung. Dia berpendapat, kurikulum SD juga perlu dievaluasi agar sesuai dengan kondisi anak-anak yang belum tentu menguasai calistung saat masuk kelas 1.

“Kurikulum SD sekarang kompleks. Bacaan untuk kelas satu sudah panjang dan butuh kemampuan logika. Kalau tidak dievaluasi secara menyeluruh, akan terjadi gap antara kesiapan anak dan tuntutan kurikulum,” tegasnya.

Pemerintah perlu mengevaluasi kurikulum secara integratif dari PAUD sampai SD. Jika hanya PAUD yang berubah, sementara SD masih menuntut kemampuan membaca panjang sejak kelas 1, maka transisi akan sulit.

Kemudian, dia juga menekankan pentingnya kesiapan guru SD dalam menghadapi peserta didik yang mungkin belum menguasai calistung. Perlu ada pelatihan dan strategi baru agar pembelajaran tetap optimal tanpa membebani anak.

“Selama ini guru kelas 1 sudah terbiasa menerima anak-anak yang bisa calistung. Ke depan, guru harus benar-benar siap membimbing dari awal. Jangan sampai guru juga kaget dan tidak siap,” ujar Nurul.

Di sisi lain, orang tua juga perlu mengubah pola pikir masuk SD tidak harus diawali dengan kemampuan akademik semata. Justru, aspek seperti kemandirian, kemampuan motorik, dan kesiapan sosial juga sangat penting.

“Karena terlalu fokus calistung, kadang kemandirian anak ketinggalan. Misalnya belum bisa pakai baju sendiri, belum mandiri makan, bahkan toilet training belum beres. Ini harus diperhatikan juga,” tutupnya.(bil/rid)

Berita Terkait

Potret NetterSelengkapnya

Kecelakaan Bus Tabrak Belakang Truk di KM 749 Tol Sidoarjo-Waru

Pajero Masuk Sungai Menur Pumpungan

Kecelakaan Truk Tabrak Gardu Tol di Gate Waru Utama

Avanza Terbalik Usai Tabrak 2 Mobil Parkir

Surabaya
Kamis, 29 Mei 2025
27o
Kurs