Sabtu, 2 Agustus 2025

Panen Kritik, Fadli Zon Sebut Narasi Pemerkosaan Massal Mei 1998 Perlu Data Valid

Laporan oleh Billy Patoppoi
Bagikan
Fadli Zon Menteri Kebudayaan saat memberikan pidato dalam diskusi publik "Sastra Mendunia" di Kantor Kementerian Kebudayaan, Jakarta, Rabu (11/6/2025). Foto: Antara

Usai panen kritik karena pernyataannya menyangkal pemerkosaan massal pada peristiwa kerusuhan 13-14 Mei 1998, Fadli Zon Menteri Kebudayaan (Menbud) akhirnya buka suara.

Dalam pernyataan resminya, Senin (16/6/2025), Fadli menegaskan bahwa laporan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) yang dibentuk pasca-kerusuhan hanya menyebut angka tanpa data pendukung yang kuat.

“Laporan TGPF ketika itu hanya menyebut angka tanpa data pendukung yang solid, baik nama, waktu, peristiwa, tempat kejadian atau pelaku,” kata Fadli di Jakarta seperti dikutip Antara.

Menurut dia, peristiwa huru-hara 13-14 Mei 1998 memang menimbulkan sejumlah silang pendapat dan beragam perspektif termasuk ada atau tidak adanya “perkosaan massal”.

“Bahkan liputan investigatif sebuah majalah terkemuka tak dapat mengungkap fakta-fakta kuat soal ‘massal’ ini,” ujarnya.

Pernyataan ini disampaikan Fadli untuk menegaskan bahwa dirinya tidak menyangkal penderitaan korban dalam peristiwa Mei 1998, melainkan ingin menekankan pentingnya kehati-hatian akademik dan ketelitian hukum dalam penggunaan istilah yang sensitif.

“Apa yang saya sampaikan tidak menegasikan berbagai kerugian ataupun menihilkan penderitaan korban yang terjadi dalam konteks huru-hara 13–14 Mei 1998,” ujarnya.

Menurut Fadli, penggunaan istilah “perkosaan massal” memiliki implikasi serius terhadap citra kolektif bangsa dan harus didasarkan pada fakta-fakta hukum serta bukti akademik yang terverifikasi.

“Berbagai tindak kejahatan terjadi di tengah kerusuhan, termasuk kekerasan seksual. Namun terkait ‘perkosaan massal’, perlu kehati-hatian karena data peristiwa itu tak pernah konklusif,” tegasnya.

Fadli menegaskan bahwa segala bentuk perundungan dan kekerasan seksual terhadap perempuan, baik di masa lalu maupun kini, adalah pelanggaran berat terhadap nilai kemanusiaan dan harus ditangani serius oleh seluruh pemangku kepentingan.

“Segala bentuk kekerasan dan perundungan seksual terhadap perempuan adalah pelanggaran terhadap nilai kemanusiaan paling mendasar,” kata Fadli.

Ia juga membantah tudingan bahwa buku Sejarah Indonesia yang sedang disusun pemerintah menghilangkan narasi tentang perempuan, termasuk korban kekerasan seksual.

“Justru sebaliknya, salah satu semangat utama penulisan buku ini adalah memperkuat dan menegaskan pengakuan terhadap peran dan kontribusi perempuan dalam sejarah perjuangan bangsa,” tegasnya.

Fadli menyebut, pembahasan tentang perempuan sudah diakomodasi dalam draf buku hingga Mei 2025. Mulai dari Kongres Perempuan 1928, peran dalam perjuangan diplomasi dan militer, hingga isu kekerasan rumah tangga dan kesetaraan gender dalam pembangunan berkelanjutan.

“Prinsip keterbukaan, partisipasi publik, profesionalisme dan akuntabilitas tentu tetap menjadi dasar penyusunan sejarah,” pungkasnya. (ant/bil/ipg)

Berita Terkait

Potret NetterSelengkapnya

Kecelakaan Mobil di Jembatan Suramadu, Kondisinya Ringsek

Kecelakaan Bus Tabrak Belakang Truk di KM 749 Tol Sidoarjo-Waru

Pajero Masuk Sungai Menur Pumpungan

Kecelakaan Truk Tabrak Gardu Tol di Gate Waru Utama

Surabaya
Sabtu, 2 Agustus 2025
26o
Kurs