Selasa, 26 Agustus 2025

Indeks Menabung Turun, Ekonom Unair: Dipicu Masalah Ekonomi hingga Tren Paylater

Laporan oleh Billy Patoppoi
Bagikan
Ilustrasi belanja online. Foto: Shutterstock

Indeks Menabung Konsumen (IMK) pada Mei 2025, tercatat sebesar 79,0 atau mengalami penurunan 4,4 poin dibanding bulan sebelumnya. Data ini mengindikasikan semakin banyak masyarakat Indonesia yang tidak menabung, atau menabung tapi jumlahnya lebih kecil dari rencana semula.

Menurut Dr. Rumayya Batubara peneliti pusat kajian sosio-ekonomi Indonesia Fakultas Ekonomi Bisnis Universitas Airlangga (FEB Unair), penurunan ini dipicu oleh kombinasi beberapa faktor, mulai dari ekonomi, literasi keuangan, hingga budaya konsumtif yang masih kuat di masyarakat.

“Pertama, ada kondisi ekonomi yang sedang tidak baik. Banyak orang yang mengalami pengurangan pendapatan, entah itu dari usaha atau pekerjaan. Kita tahu banyak pekerja kita yang masih di sektor informal. Artinya, mereka tidak punya kepastian gaji tetap setiap bulan seperti pekerja formal,” ujar Dr. Rumayya dalam program Wawasan Suara Surabaya, Senin (7/7/2025).

Kedua, ia menyoroti persoalan rendahnya literasi keuangan. Menurutnya, banyak keluarga di Indonesia belum memiliki perencanaan finansial yang matang, padahal pengeluaran besar seperti biaya sekolah atau kebutuhan Lebaran sebetulnya bisa diprediksi.

“Kita tidak punya financial planning yang jelas. Misalnya saat dapat THR, itu seharusnya tidak langsung dihabiskan. Tapi karena tidak direncanakan, semuanya dibelanjakan sekaligus,” jelasnya.

Ekonom Unair itu juga menjelaskan adanya adanya paradoks antara kebijakan makroekonomi dan kebutuhan finansial individu. Contohnya, pemerintah yang kerap mendorong masyarakat untuk segera membelanjakan uang demi menjaga roda ekonomi nasional tetap bergerak.

Kata Rumayya, hal ini sebetulnya bisa bertentangan dengan prinsip keuangan sehat di tingkat rumah tangga.

“Memang ada paradoks mikro-makro. Apa yang bagus di level makro belum tentu bagus di level mikro. Kalau masyarakat menabung, ekonomi bisa terkontraksi. Tapi kalau tidak menabung, individu yang akan kesulitan di masa depan,” kata Dr. Rumayya.

Selain persoalan ekonomi dan perencanaan, ia juga menyebut faktor budaya turut mempengaruhi.

“Budaya kita sebenarnya punya nilai-nilai yang mendukung menabung. Dulu kita mengenal lumbung pangan, sebagai bentuk antisipasi masa paceklik. Tapi ketika kita beralih dari masyarakat agraris ke masyarakat industri, wisdom (nilai kebijaksanaan dalam menabung) itu hilang,” ujarnya.

Selain itu, gaya hidup yang berubah dan munculnya kemudahan finansial seperti cicilan paylater, kata dia, juga menjadi tantangan baru. Banyak orang memilih berutang ketimbang menabung terlebih dahulu untuk membeli barang.

“Itu inovasi keuangan yang akhirnya membuat orang tidak lagi menunda keinginan. Padahal sebenarnya, kalau kita ambil paylater, artinya kita sedang mengonsumsi pendapatan masa depan,” terang Dr. Rumayya.

BACA JUGA: OJK Catat Pembiayaan Paylater Naik Jadi Rp8,24 Triliun pada April 2025

Ia menekankan pentingnya pengelolaan cicilan yang sehat. Secara ekonomi, utang itu sah-sah saja, asal tidak lebih dari 30 persen dari pendapatan bulanan. “Tapi kalau cicilan sudah 50 sampai 90 persen dari pendapatan, ya itu bahaya.”

Di sisi lain, survei IMK menunjukan penurunan indeks paling besar terjadi pada kelompok rumah tangga yang penghasilannya di bawah Rp1,5 juta per bulan. IMK mereka turun lebih dari 12 poin. Hal ini sejalan dengan turunnya Indeks Kepercayaan Konsumen yang kini berada di angka 99,7 atau di bawah ambang optimis.

Tapi menurut Rumayya, bukan berarti masyarakat tersebut tidak memiliki tabungan sama sekali. Banyak konsumen merasa kondisi ekonomi memburuk akibat kenaikan harga sembako, terbatasnya lapangan kerja, dan gangguan cuaca seperti banjir dan gagal panen.

“Bisa jadi bulan ini mereka tidak menabung karena sedang makan tabungan yang sudah ada. Jadi, jangan disimpulkan langsung mereka tidak punya tabungan,” kata Dr. Rumayya.

Ia menegaskan pentingnya memiliki dana darurat minimal untuk tiga bulan ke depan. “Kalau ada PHK atau sakit, kita punya waktu tiga bulan untuk bertahan hidup tanpa harus panik soal dapur. Setelah dana darurat aman, baru kita bisa pikirkan investasi atau konsumsi tambahan,” sarannya.

Terakhir, Dr. Rumayya mengimbau agar masyarakat tetap menabung dalam bentuk apa pun. “Menabung itu tidak harus selalu di bank. Bisa dalam bentuk emas atau aset lain. Yang penting keluarga harus punya jaminan untuk kondisi tak terduga ke depan,” tutupnya. (bil/iss)

Berita Terkait

Potret NetterSelengkapnya

Kecelakaan Mobil di Jembatan Suramadu, Kondisinya Ringsek

Kecelakaan Bus Tabrak Belakang Truk di KM 749 Tol Sidoarjo-Waru

Pajero Masuk Sungai Menur Pumpungan

Kecelakaan Truk Tabrak Gardu Tol di Gate Waru Utama

Surabaya
Selasa, 26 Agustus 2025
30o
Kurs