
Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) mempersiapkan penyelenggaraan haji tahun 2026 dengan menekankan pentingnya evaluasi menyeluruh ibadah haji yang berkelanjutan.
“Kami menyadari bahwa penyelenggaraan haji berskala besar tidak luput dari tantangan. Oleh karena itu evaluasi menyeluruh menjadi pijakan penting untuk memastikan peningkatan kualitas ibadah haji di masa mendatang,” ujar Warsito Deputi Bidang Koordinasi Penguatan Karakter dan Jati Diri Bangsa Kemenko PMK melansir Antara, Jumat (25/7/2025).
Ia mengapresiasi seluruh pihak yang telah bekerja keras menyukseskan penyelenggaraan haji tahun 2025, khususnya Kementerian Agama (Kemenag) dan Badan Penyelenggara Haji (BP Haji), guna memperbaiki berbagai aspek teknis dan kebijakan.
Warsito menegaskan pentingnya fungsi koordinasi, sinkronisasi, dan pengawasan, melalui forum lintas kementerian dan lembaga, pengawasan di lapangan, hingga penguatan rekomendasi kebijakan untuk menjamin pelayanan haji yang semakin tertib dan bermartabat.
Puji Raharjo Deputi Bidang Koordinasi Pelayanan Haji Dalam Negeri BP Haji mengatakan, persiapan haji 1447 Hijriah/2026 telah dimulai sejak awal Juni 2025.
Salah satu prioritasnya yakni percepatan pemesanan tenda di Arafah, Muzdalifah, dan Mina (Armuzna), yang ditargetkan selesai pada akhir Juli 2025.
“Sejumlah hal krusial seperti akomodasi, transportasi udara, dan pelunasan biaya haji sudah mulai disiapkan sejak Agustus hingga September. Alternatif bandara untuk pemberangkatan dan pemulangan juga tengah dipertimbangkan untuk meningkatkan efisiensi pergerakan jamaah,” ucapnya.
Sedangkan Hilman Latief Direktur Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah Kemenag menekankan pentingnya menyikapi setiap dinamika yang terjadi terkait operasional haji dengan kebijakan yang tepat.
Hilman juga menyoroti pentingnya kebijakan yang dirancang lebih dari satu tahun anggaran dan penguatan regulasi untuk menghindari monopoli layanan oleh syarikah.
“Indonesia masih menjadi negara dengan biaya haji terendah di dunia, bahkan di bawah Bangladesh. Untuk itu perlu penguatan sistem data jamaah dan penyederhanaan proses visa,” katanya.
Dari segi kesehatan, Liliek Marhaendro Susilo Kepala Pusat Kesehatan Haji Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mengemukakan sekitar 80 persen jamaah memiliki penyakit penyerta (komorbid), sehingga sistem layanan kesehatan haji harus semakin adaptif.
Dari sisi hubungan luar negeri, Ahrul Tsani Fathurrahman Direktur Timur Tengah Direktorat Jenderal Asia Pasifik dan Afrika Kementerian Luar Negeri (Kemlu) menyampaikan penyelenggaraan haji menjadi bagian dari kepentingan strategis Indonesia dalam diplomasi bilateral dengan Arab Saudi.
“Haji tidak sekadar ritual keagamaan, tetapi juga bagian dari diplomasi utama Indonesia. Semua komunikasi dilakukan melalui nota diplomatik agar memiliki pijakan kuat,” tuturnya.
Ia menambahkan isu-isu utama, seperti kuota, layanan kesehatan, smartpass, hingga Kampung Haji, akan terus diperjuangkan melalui Dewan Kerja Sama Tingkat Tinggi (DKT) yang dipimpin langsung Presiden RI dan Raja Arab Saudi.
Sementara itu Agustinus Budi Direktur Angkutan Udara Kementerian Perhubungan (Kemenhub) menyoroti pentingnya optimalisasi bandara alternatif, mengingat Bandara Taif saat ini belum bisa dimanfaatkan karena panjang landasan pacu yang belum memadai untuk operasional pesawat haji.
Kemenko PMK saat ini tengah mendorong penandatanganan kerja sama teknis antara Kemenag dan BP Haji, utamanya dalam konteks transisi kelembagaan sambil menunggu pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Haji dan Umrah. (ant/ata/ris/iss)